Kamis, 06 Mei 2010

GÊDRIG

Gêdrig? Apa pula itu! Itu adalah kosa kata bahasa Jawa mengenai gaya tulisan dengan huruf tegak seperti yang tengah dibaca ini. Bukan huruf miring atau italic, juga bukan huruf sambung atau script. Saya ingin mengajak sejenak dengan ceritera lama. Suatu retro, tentang sekilas masa pembelajaran tempo doeloe; namun masih ada “garis yang jelas dengan masa kini ke depan”. Hampir pasti, tidak akan semenarik ceritera sinetron, ataupun selebriti yang kehidupannya mengalami on and off.

Mari kita mulai! Barangkali, kita pernah mengisi jawaban dan atau isian pada suatu formulir. Seringkali ada keterangan : Harap diisi dengan huruf cetak. Maksudnya adalah, agar kita menulis – tentu saja dengan tangan – pada kolomkolom dan atau bagian yang perlu diberi keterangan dengan dengan huruf yang tegak, tidak bergandengan, layaknya huruf yang kita baca pada hasil cetakan pada umumnya.

Kamis, 14 Januari 2010

PATRA MÊNGGALA

Saya suka duduk di atas lincak, menghadap ke timur dibawah pohon Patra Mênggala. Patra Mênggala? Di Tinggarwangi dulu saya mengenal dengan nama itu. Semula saya menduga, mungkin penanam pertama atau yang memperkenalkan tanaman tersebut di Tinggarwangi adalah Ki Patramenggala. Orang Jakarta menyebut bunga merak. Sengaja saya tanam untuk mengganti pohon blimbing, agar ada sedikit kenangan dengan rumah masa kecil di desa, yang juga mempunyai pohon serupa. Posisi tanam juga mirip: bagian depan rumah agak sebelah kanan. Bibitnya berupa biji seperti kêmlandingan atau lamtoro, tetapi lebih besar, memang dibawa oleh adik saya dari desa. Berdaun kecil-kecil, rontokkannya mudah membentuk sampah di bawah pohon. Di beberapa tempat tepian jalan tol luar kota terkadang dapat dijumpai pohon berbunga merah atau kuning itu.

Patra Mênggala (bunga merak) ini mempunyai nama Latin Caesalpinia pulcherima.  Meski tinggi pohon di depan rumah sudah sekitar 3 meter tingginya, tetap disebut kembang. Karena yang menonjol ya bunganya itu. Nggak peduli musim hujan ataupun kemarau, tetap berbunga. Lingkup masyarakat dimana saya tinggal, pada tahun pertama tidak ada yang punya. Katanya: “Cakep ya Pak, bunga apaan sih namanya? Émang beli dimané! – Katanya sih, namanya bunga merak. Kalau di desa saya menyebut bunga Patra Mênggala. Nggak beli kok. Saya pesen benihnya dari desa, dibawain bijinya sama adik saya.” Singkatnya, saya ndhêdhêr biji-bijinya, setelah tumbuh sekitar 50 cm saya berbagi.

Tatkala berselancar di internet, ketemu juga hal-ihwal nama bunga yang bertahun-tahun mengingatkan desa kelahiran. O, memang betul namanya Patra Mênggala. Nama bunga merak saja merak saja, setelah tumbuhan itu menghias halaman rumah. Terima kasih kepada pengola blog sayangbungaku.blogspot.com Saya jadi tahu nama Latin-nya: Caesalpinia pulcherima. Silakan kunjungi. Bagus, kok! Juga ada keterangan manfaatnya. Memang tentang bunga, tetapi ditulis oleh ahlinya. Priyantun sekolahan. Matur nuwun. Saya memang termasuk nggak faham babagan botani. Kulitnya sekalipun. Ngêrtiné nyawang kêmbang.

PERSEPSI VISUAL (3) - Klasifikasi Visual

Jika diamati, ada empat klasifikasi visual yakni: (1) wujud nyata, (2) wujud setengah nyata, (3) gambar yang nyata, dan (4) gambar simbol. Dari empat klasifikasi termaksud, baik sendiri-sendiri maupun gabungan, sangat membantu proses pembelajaran. Istilah pembelajaran disini, tidak hanya mengacu pada proses belajar mengajar di sekolah, tetapi tiap upaya seseorang untuk memahami sesuatu dari luar dirinya.

1. Wujud nyata
Kita dapat mengamati dan mengenali sesuatu karena melihat wujud nyata (actual reality). Dapat diamati dan dapat disentuh. Pada wujud yang nyata, sese­orang dapat mengamati dimen­si, ukuran, warna, teksture serta kepadatan. De­ngan mengamati secara visual, pengertian dapat bertambah pada sesuatu yang berkaitan dengan benda termaksud; misalnya rasa (taste) dan bau (smell).

Para orang tua mengajarkan banyak hal kepada anak-anaknya dengan memperkenalkan sesuatu secara nyata. Benda-benda yang nyata dalam keseharian dikenalkan dan diamati. Pengenalan, contoh kegiatan yang nyata disertai petunjuk. Sing arané dhingklik, kuwé nggo njagong. Ora nggo thingkrang. Sikilmu aja déuanggahna nêng méja. Penjelasan maupun perintah lisan dilakukan untuk mengkontrol proses penalaran.

Rabu, 13 Januari 2010

PERSEPSI VISUAL (2) - Verbal dan Audio

Pada Persepsi Visual bagian 1, saya mengambil contoh ceritera tentang becak, yang diucapkan secara lisan atau verbal. Relatif, setiap hari kita berbicara pa­da orang lain dengan ungkapan-ungkapan verbal. Ungkapan yang verbal, terucapkan seba­gai sim­bol bunyi yang sifatnya terdengar atau audible dan tertang­kap dengan indra pendengar. Orang yang tuna wicara juga “berbicara” pada orang lain; bukan verbal melainkan dengan bahasa isyarat ragawi atau gesture, atau simbol-simbol yang dimengerti pihak yang diajak berkomunikasi. Misalnya dengan tulisan. (Jika ada waktu, saya ingin berbagi pula tentang aksara sebagai simbol bunyi, desain aksara, tipografi dan beberapa pengalaman terkait. Dongakna ya, inyong tansah pinaringan waras. Mèn bisa berbagi dongèng.) Kembali tentang si tuna wicara. Tidak mustahil, dalam benak yang bersangkutan (si tuna wicara itu) sudah tersusun informasi yang tertata. Namun keluarnya dalam “ucapan” hanya hah, hih. huh yang tidak difahami lawan bicaranya. Ada perbedaan referensi, sehingga sering tidak nyambung secara utuh.

Meskipun suatu pesan verbal, dalam hal ini bila kita melakukan pembicaraan dengan seseorang, maka akan terdengar keras dan lembutnya suara, jelas atau nggranyêm, tekanan pada kata tertentu ataukah datar. Terlihat juga siapa yang berbicara, dan roman mukanya. Berarti ada gabungan verbal dan visual. Intinya, ada simbol-simbol yang mem­beri watak dalam proses komunikasi.

Dewasa ini semakin banyak para pengajar dan pelatih yang menggunakan sarana bantu audio maupun visual untuk mendu­kung proses belajar mengajar. Dalam pelajaran bahasa, dimana pe­ma­haman menyangkut mendengar, meng­ucap­kan, membaca dan menulis, membutuhkan ukuran baku sesuai bidang pelajarannya.

PERSEPSI VISUAL (1)

Buat warga IKSA : Uraian berikut adalah catatan ringkas tentang persepsi visual yang telah lama terselip dan belum dipublikasikan. Ternyata ada anggota keluarga yang ngonangi, dan menya-rankan: Masukkan sebagai isi blog untuk berbagi terutama buat anak-anak IKSA. Kan ada nilai historisnya. Semula dicoba menjadi satu naskah; tetapi karena kendala memori dan arus transmisi sinyal, dipotong jadi tiga bagian. Biar tidak lambat. Bagian pertama adalah awal dongeng. Bagian kedua tentang persepsi verbal dan visual. Bagian ketiga berisi klasifikasi visual. Jika ada uraian yang tidak pas dan kurang berkenan, itulah perlunya kita bertukar pendapat agar blog ini tidak cuma isi berita keluarga yang monochrome. Cobalah gunakan bahasa Jawa gaya Banyumasan. Kalau kehabisan kosa kata dan kesulitan tata bahasa, ya gunakan campuran dulu. Bagaimana? - Tu Ds.

Kita awali dari Tinggarwangi tahun 50-an ...
Menjelang senja, Bapak pulang setelah bepergian beberapa hari ke Semarang. Saya senang. Orang-orang serumah semua senang. Rasa senang mBoké lebih terungkap dari lèhé éwuh ngladosi keperluan Bapak yang rawuh sumringah. Mungkin juga sayah, tapi tak terlihat. Saya ikut ngrubung olih-olih tanpa rikuh terdorong rasa ingin tahu, antara lain : buntêlan roti. Di Tinggarwangi belum ada yang jual. Dan ternyata, roti itu enaknya luar biasa!.

Kejadian nyaris setengah abad yang lampau, masih segar dalam ingatan. Kaya nêmbé tahun mbêkana. Tetapi, ceritera dan kosa kata, baru sebagai bagian oleh-oleh beliau, masih teringat. Beliau ke Semarang untuk urusan berobat mata dan memesan kaca mata. Beliau ngagêm kaca tingal. Saya tidak boleh menyebut bêlor. Bêlor itu juga kaca mata, tetapi yang biasa dipakai oleh pemain ébèg atau kuda lumping. Kacanya hitam. Biar berpanas-panas, rasanya sejuk.

Semarang? Dimanakah itu? Prênahé jéré wétan lor, adoh pisan. Ora paham. Waktu itu, saya masih dalam kelompok bocah cilik alias walad dzohir (kosa kata ini karena sudah ketularan orang Pemalang). Belum mendapat pelajaran Ilmu Bumi. Penger­tiannya, wétan anané mung sawah dawa, terus ngidul butul warungé nini Bar Margasana; ngétan têrus lêmpêng, mêngko ana sawah maning. Lor désa, adoh ngkana ana gunung Slamêt. Sisih kidul, ana Jatilawang karo Adisara, terus menganah maning, butul Karang Lêwas dalêmé éyang Pênatus. Kidul wétan ana Karang­anyar, nggon grabah; umahé paman Walir. Anggêr sing Karang­anyar ngidul teruuuuus, batiré inyong ngomong ana sêgara kidul. Segara kuwé apa? mBuh, wong jéré banyuné kimplah-kimplah, nglêwihi kali Tajum blabur, utawa sawah wétan sing nganti ora katon galêngané mêrga udané ora man­dhêg-mandhêg. Sêkang pasar Kulon, anggêr ngalor jéré butul Kali Sadhang nganti Purajati, ning urung tau ngambah. Anggêr tung dalan sing mêngulon, butul Kali Bacin, sisih nduwuré ana kuburan Cina. Sakuloné maning mbuh désa apa arané. Daerah jelajah eksklusif bagian barat, selain Kali Bacin, baru sam­pai Ciparuk ikut Yu Maryati tilik uwané.

Selasa, 12 Januari 2010

BRUDERAN (3) - Bruder Jos

“Beneath the little west window, lay a child about ten years old ..... “ Itulah kalimat yang mengawali paragraf pertama Chapter I buku A Child with out a Name yang harus dihafalkan. Buku fiksi ukuran saku, yang dibagi-pinjamkan oleh Bruder Jos. Saya tidak ingat nama pengarang dan penerbitnya. Beliau menjelaskan dengan rinci latar belakang kultur dan suasana deskripsi ceritera, termasuk etimologi istilah yang ada. Dengan gaya teater yang menguasai blocking panggung, dicontohkan membaca halaman pertama itu dengan intonasi British-nya. Semua menyimak “aktor” yang memang ganteng juga sih ...

Ujung-ujungnya, jadi PR. Semua murid, satu persatu harus maju ke depan kelas, mengucapkan isi halaman pertama buku itu dengan benar. Jika seseorang menghafal dengan benar maka dia “dilantik jadi King ... “. Ternyata masih banyak yang cuma jadi punggawa ... Selain sebagai Kepala Sekolah, beliau mengajar bahasa Inggris bidang Comprehension. Bidang grammar pengajarnya Miss Tjoa.