Sabtu, 28 November 2009

ANGGODO

Anggodo ? Lho, blog IKSA menulis Anggodo? Kok masuk ke ranah "breaking news"? Eit, ntar dulu. Kalian mengenal dan atau mendengar sebutan anggodo dari mana? Apakah karena mendengar begitu riuhnya berita tentang kpk-polri-kejaksaan-dpr-komisi 8, nimbrung di facebook, atau sumber-sumber lain yang mungkin layak dipercaya?

Bagi, warga IKSA mungkin seluruhnya sama. Bagi kalangan yang relatif tua dan masuk kategori senior citizenship, mungkin ada dua perkara. Pertama perkara yang menjadi berita terkini. Kedua, menyangkut nama yang keren. Kok keren? Sebutan Anggodo mengingatkan pada tokoh dalam dunia wayang yang hebat, ditulis juga Anggada. Huruf a miring (italic) dibaca seperti "o" tapi ringan. Mengingatkan pada Subali, Sugriwa, Anoman, Anila serta entah berapa banyak tokoh serta bala tentara wanara (monyet) lain.

Selasa, 27 Oktober 2009

CHECK AND RECHECK

Check and recheck. Ini bukan Cek & Ricek tentang acara celoteh di televisi, tetapi tentang IKSA. Dalam catatan saya, ada 19 (sembilas belas) keluarga warga IKSA yang bermukim di Jakarta dan sekitarnya. Meliputi berapa jiwa? Belum tahu. Kok bisa? Itulah! Kalau saya jadi kepala desa, - sesuai dengan kedudukannya - tentu bisa "memerintahkan" perangkat desa sampai ketua RT untuk mendata. Apalagi "desa atau kelurahan" nya meliputi se-Jabodetabek! Desa mana yang seluas itu! Laah, apa nggak "lapor", atau ber-"halo-halo"? Hush, jangan keras-keras! nTar ada yang merasa nggak enak. Dirasanin, baru tahu kamu!

Acara hal bil halal berlangsung dengan lancar, selamat. Namanya halal bil halal, ya mengusahakan yang masih haram (kesalahan, kekeliruan), dengan ketulusan dan kerohiman, insya Allah memperoleh ridho-Nya menjadi halal (dimaafkan). mBah Hj. Chamdiah (Ibu/mBak Aam) sebagai ibu suri atau ibu sêpuh yang mêngku gawé. Yang nduwé gawé, keluarga Mustofa (Sari Wulandari) dengan segenap jajaran adik dan kemenakannya. Komplit.

Selasa, 20 Oktober 2009

ADI KUNTORO AJI

Setelah sekian lama, akhirnya datang juga, itu data. keluarga ADI KUNTORO AJI telah mengirimkan data yang terbaru. Terima kasih. Dulu cuma nama (halaman kiri), kini secara mengejutkan mengokupasi satu halaman sendiri. Rupanya kurang puas kalau namanya (hal. kiri)cuma "bergantungan" ... Bagaimana pun, terimakasih atas upayanya. Semoga yang lain tidak usah merasa dikejar. Karena datanya akan lari mendekat.

Saya tidak bosan-bosan mengingatkan, bagi yang belum, tolong sempatkan. Untuk keperluan keluarga besar IKSA, kini dan masa mendatang. Data yang diperlukan sangat sederhana. Bukan rahasia pribadi, bukan rahasia keluarga. Hanyalah:

(1) Nama orang tua (bapak dan ibu).
(2) Nama lengkap maupun pribadi pasangannya, disertai tanggal dan tempat lahir.

IRAH-IRAHAN

Irah-irahan artinya judul atau header. Sêkalané Kémutan adalah judul blog. Kemunculan pertama desainnya dominan warna biru, mèn bisa mumbul maring langit. Jêbulé nêng langit ora nana apa-apa. Suwung. Lah sing akè-akèh mung padha nyawang. Anggêr jagad tah isiné pirang-pirang. Eh, mbok mênawa wis mandan bosên karo biru, njajal déowahi warna liyanê. Dominan hitam. Mandan pêtêng, ningèn tulisane gênah. Putih. Ana abangé mèn mandan mbranang. Anggêr wis ora cocog ya, ganti maning. Gawé dhéwèk ikih. Ora tuku, ora mbayar.

Umpamané ko takon: Mengapa kalimat IKATAN KELUARGA SUDIWAN ATMOSUMARTO tidak disertakan? Golihé takon nganggo basa Indonesia, mêrga ora paham basa Jawa Banyumasan. Ngoko baé ora téyèng, apa maning krama, gêdhéné krama inggil. Laah ... Inyong sêmauré kaya kiyé :

(Bahasa Indonesia, biar kalian jelas) Kalimat termaksud tidak perlu ditonjolkan, karena sudah terwakili logo IKSA. Tuh, di sebelah kiri. Kalau kalimat IKATAN KELUARGA SUDIWAN ATMOSUMARTO masih disertakan, berarti ada duplikasi, yang secara desain terlalu penuh. Jangan serakah, semuanya mau masuk. Sedangkan tulisan Jawa (Hanacaraka) disertakan, katanya sih sebagai pengingat bahwa kita berangkat dari suatu kultur tertentu, dalam wadah NKRI, gitu. Jika kalian tidak faham, anggap saja itu bagian dari ornamen desain, warna merah, ingat moral dan etika kultur, tetap mempunyai semangat juang yang egaliter. Begitu lho !

Selasa, 13 Oktober 2009

Ketemu Yuk!

Acara Halal bil Halal keluarga IKSA Jakarta akan diselenggarakan di Matraman. Kel. Mustofa (7.1. Sari Wulandari) mengharap kehadiran seluruh warga IKSA Jakarta dan sekitarnya untuk berkumpul di kediaman Ibu Aam (Matraman) dalam rangka Halal bil Halal. Rencana, insya Allah dilaksanakan hari Minggu tanggal 25 Oktober 2009. Beritahu dan ajak warga IKSA, secara berantai atau langsung. Konfirmasi diperoleh dari 7.1. Sari Wulandari 13 Oktober 2009 14:22. Be there ...

Catatan : Bagi anggauta keluarga yang perlu memperbaharui data keluarga, ada baiknya menyiapkan catatan seperlunya. Berisi nama lengkap, tempat dan tanggal lahirnya. Foto (jika mungkin) lebih baik. Siapa tahu ada juga yang bawa kamera, boleh doong . . . dibawa. Semoga punya waktu yang cukup, lancar dan selamat!

Sabtu, 19 September 2009

RÈNDRA WIDYATAMA

RÈNDRA WIDYATAMA (6.3) memperbaharui data untuk Buku Keluarga Sudiwan Atmosumarto, edisi ke 3. The small and happy family. Data-data yang lebih rinci ada pada redaktur Buku Keluarga (saat ini). Kalau dimasukkan semua, bisa waah, bisa over pages. Terimakasih banyak atas atensi, dan partisipasinya. Gambarnya keren, kok. Jangan-jangan mahasiswanya yang disuruh motret. Saya cuma sedikiiiit fill-in re-touch, kok. (Lah, mana gambar dan data terbaru mas-mu 6.2 Teguh sekeluarga?)

Dalam lima bulan terakhir baru masuk tiga data baru. Dan itu masih sangat sedikit jika dihitung jumlah warga IKSA. Dan, saya akan lebih senang jika ada kontribusi gagasan dan atau pendapat buat iksa lewat blog ini. Tentu, tidak se-serius buku, Yang simple dan sedikiiit saja. Fungsi blog, kan gitu, katanya. Kalau cari pertemanan, pakai facebook.

Kira-kira sih, sehabis ber-Lebaran di Jatilawang atau Ngawi, mesti menengok Anthuriumnya. Kalau Sansevieria rasanya masih tidak mengkhawatirkan, wong tahan kering kok. Selamat Idul Fitri. Maaf Lahir Batin. Muga padha rahayu kang tinêmu. – Tu Ds.

Jumat, 18 September 2009

(Menjelang) BADA

Bada seringkali membawa berbagai rasa bagi kita. Ada yang bersuka cita, suntrut, hingar bingar, sumringah, haru, syukur dan seterusnya. Suasana dan emosi berbaur, menyelimuti gebyar lebaran. Berikut ini, sekelumit kilas balik menjelang hari raya Idul Fitri, dekade 50-60 an di Tinggarwangi, masa-masa Eyang kalian masih sugêng. Apa itu sugêng? Sugêng artinya hidup. Kosa kata tersebut digunakan merujuk pada seseorang secara lebih hormat.

Sebutan bada (ba’da) yang artinya usai. Lêbaran, suasana usai selepas suatu momentum. Wis lêbar, sudah usai. Usai menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan. Banyak sekali ragam tafsir tentang puasa Ramadhan. Saya tidak membicarakan pengertian atas kosa kata termaksud, melainkan ingin menggambarkan secara “feature” suasana pada dekade lampau di desa.

Cobalah simak, dialog imajiner ini : - Kaé ayamé décancang. Têlu-têluné, sing égin déré. Sing blorok tah ora susah, wong lagi ngêndhog . . . Sisan gawé, si Warti déwêling, golihé bruwun sing mandan akèh. Anggêr katoné kurang, ngésuk-ésuk ya mélu bécèr nêng pasar kulon. Aja kawanên! . . . - Karo bibine baé laah! - Aja kaya kuwé . . . Bibiné karo mbêkayumu gênah lagi éwuh gawé kêtan karo ampyang. Malah ana sing jéré kêpéngin njajal gawé lêmpêr. Urung thik-thêk liyané. Lha, ko, anggêr bali ngréwangi nggawa bécèran, nata-nata sing arêp dégawé diyan kurung. - Lha klambiné inyong kapan dadiné? - Ora usah mikir dhingin. Mêngko awan tuli déjujugna. Wong lagi ora wuda ikih . . . (Busyeeet) - Uuh, lah mêngko anggêr ... - Giyèh, aja kaya kuwé! Bada ora kêna bada-budu . . .

Kamis, 17 September 2009

WARA-WARA

Wah ! Rame juga itu main tebak tanggal 30 di e-mail. Ada baiknya Dika dan Citra bikin klarifikasi, biar nggak main tebak! Wujudnya: wara-wara, announcement, invitation atau apapun namanya biar kita bisa ikut hepi.Setidaknya tidak lagi ada Trio Eko. Tapi bisa jadi Quatro Eko. Ayo dong, ini tugas Dika dan Citra juga, kan, untuk announce The Great Day.

Bagi warga IKSA khususnya se-Jabodetabek dan sekitarnya, sebaiknya jangan bikin acara sendiri pada tanggal 30 September 2009 nanti, siapa tahu ada ulêm-ulêm. Barangkali kita juga ada kesempatan rubungan Mélu nyêngkuyung, bahkan mangayubagya. Muga-muga lancar, bêrkah, slamêt! Lihat tuh! Masa gambar yang tadinya berempat menjadi bertiga! Paling nggak jadi empat lagi! Eh, dimana sih lokasi Jati Asih. Yang jelas bukan Kramat Jati – Tu Ds.

Review Kegiatan

Salam hangat,

untuk moderator blog, saya punya usul, bagaimana jika setiap ada arisan, acara pernikahan atau acara kumpul-kumpul keluarga diberikan review di blog ini juga dilengkapi dengan foto2. untuk kami yg berada jauh dari Jakarta/pulau jawa setidaknya bisa sedikit melepas kangen dan bisa mengetahui update2 terbaru dari keluarga besar IKSA. Semoga usulan saya bisa direalisasikan dengan tujuan untuk mempererat tali silaturahmi.

Salam,
-Rio-

2009 Juni 29 12:00

Jumat, 26 Juni 2009

MENGENANG

Tanggal 21 Juni 2009, bertepatan dengan tanggal wafatnya Éyang /Éyang Buyut/Canggah Sêrkini Atmosumarto. Beliau wafat pada hari Slasa Pahing, 21 Juni 1970. Tanggal lahir, tidak saya ketahui; yang diketahui adalah catatan hari pernikahan beliau dengan Éyang /Éyang Buyut/Canggah Sudiwan Atmosumarto, yakni pada tanggal 1 Desember 1925.

Inset, gambar beliau tatkala menjenguk keluarga Utojo Martosancoko di Jatinegara (Warung Asem) tahun 1968. (Keluarga Sudiwan Atmosumarto, ed. 2, 2003 hal. 43) Maaf saya tidak ingat kapan persisnya. Saya hapal betul, beliau duduk di kursi malas dari rotan. Tidak ketinggalan kinangnya. Beliau mempunyai kebiasaan – sebagaimana orang jamannya - mengunyah sirh (nginang). Campuran antara daun sirih, gambir, buah pinang, kapur dan tembakau. Mereka yang melakukannya, rata giginya sangat kuat. Tidak gampang ompong. Tapi tidak secermerlang di iklan pasta gigi!

. . . Anak pertama, Soediro (1) pada tanggal 29 April 1929. Anak terakhir, Siti Rahayu (11) lahir 23 Desember 1953. Usia 15 tahun simbok sudah menyusui, ngêmban bocah 11 orang! Begitu susul-menyusul dalam rentang waktu hampir 24 tahun.

. . . Ngêmban bocah, (kata kerja) dari kata (ng)êmban yang artinya menyandang beban dengan kain pada sebelah kiri atau kanan, bagian depan badan. Biasanya dilakukan oleh orang perempuan. Kain penyandang dililitkan dan tersangkut pada bahu atau pundhak (bahu) si pembawa. Bocah berarti anak. Jadi, ngêmban bocah berarti : (1) Menyandang atau membawa anak dengan cara di-êmban. (2) Ungkapan ngêmban bocah juga diartikan mempunyai anak. Dengan cara demikian, seorang ibu dapat menyusui seorang bayi atau anak kecil, sekaligus melakukan kegiatan ringan. Kata ngêmban dipakai untuk menunjukkan perlakuan orang tua, khususnya seorang ibu yang melindungi (care and protect) anaknya . . . (Péngêtan, Turipto Danusumarto, Jakarta 2004, hal 3)

Sabtu, 13 Juni 2009

DOKUMENTASI

Pawon Gêndhèng
Membuat genteng (gêndhèng), telah menjadi tradisi pencaharian wargaTinggarwangi sejak lama.
Sumber bahan baku dari tanah-tanah kosong di desa, serta lapisan atas tanah sawah yang sudah kurang subur. Pasir dari sungai Tajum. Konsumen sampai mencapai bagian timur Jawa Barat, diangkut truck, gerobag dan perahu menyusuri sungai Tajum sungai Serayu, laut selatan, masuk sungai Donan di perbatasan Cilacap - Jawa Barat. Kini sudah mulai hilang.

Éyang Maryati (3) dan Éyang K. Kartoatmadja adalah pengusaha ulet bidang pembuatan, pembakaran dan penjualan serta distribusi genteng. Gambar lama ini menunjukkan pawon (tungku) pembakaran genteng. Yang mejeng sih, adik-adiknya, anak cucu dan tetangga. Gambar diambil sekitar tahun 1969-1970. Masih jaman foto hitam putih. Masa itu, bisnis genteng dengan memiliki tungku pembakaran, sudah termasuk golongan menengah. Bisakah kalian mengenali siapa mereka?

Jumat, 12 Juni 2009

Mata Uang Lama


Mata uang Indonesia adalah Rupiah (simbolnya Rp). Satu rupiah terdiri atas 100 sen. Pernah melihat dan menggunakan uang satu rupiah? Tahun 1962, satu dollar Amerika nilainva sekitar Rp 95,00. Sekarang ?

Bagian atas, tampak depan uang kertas senilai Rp 2,50 atau satu ringgit emisi tahun 1960.. Orang-oarg Tinggarwangi waktu itu menyebut karo tengah gélo (dua setengah rupiah). Di baliknya, tertera peringatan dalam ejaan Suwandi, tertulis : Barangsiapa meniru atau memalsukan uang kertas dan barangsiapa mengeluarkan dengan sengadja atau menjimpan uang kertas tiruan atau uang kertas jang dipalsukan akan dituntut dimuka hakim. Sekarang, mata uang kertas kita tidak ada peringatan seperti itu. Jadi, si pemalsu makin tidak takut?

Gambar bawah, salah satu sisi mata uang logam benggol, dibesarkan 250%. Satu benggol adalah 2,5 sen. (Rp 0,025) Tertera aksara Latin di sisi depan, juga ada aksara Arab dan aksara Jawa, yang berbunyi sapara patang puluh rupiyah. Tidak menyebut dua setengah sen, tetapi memakai sebutan seperempat puluh (1/40) rupiah.

Selain informasi grafis berupa gambar, simbol, aksara dan angka, para perancang mata uang juga sudah mempertimbangkan bahan, berat, guratan, maupun warna. Tidak semata-maia keamanan dari tindak pemalsuan, tetapi rnemudahkan pengenalan bagi semua orang; tuna netra, tuna wicara dan tuna-tuna lain termasuk tuna karya.

Kalian warga IKSA, punya koleksi mata uang apa? Dolar Amerika, SIngapore, ringgit Malaysia, rupee India, yen Japeng (¥), £ Inggris, dll. Hallo, yang di Jerman, Abu Dabi dan lain-lain, tolong dong ceriterakan tentang mata uang. Uangnya tidak usah. Mata uang Perancis desainnya cantik sekali, lho!. Entry ini buat ngrame-ngramein, kok.
Bingung mau ngomong. Walaupun saya ngerti sedikit bhs Jawa tapi bagus juga your opinion.Maybe

POSTING AND COMMENTS

Klik komentar di bawah ini untuk menyampaikan pendapat dan saran.

Kamis, 11 Juni 2009

Éling Wong Tuwa - seri 3

. . . dalam banyak hal, desa kelahiran tidak hanya dipandang sebagai lokasi, melainkan bagian dari sejarah, kultural dan emosi seseorang . . .

— Orang Jawa kan katanya : mangan ora mangan anggêr kumpul. Itu bagaimana Pa?
— Ya. Ada pendapat demikian, yang diartikan secara harfiah. Enak atau tidak enak, yang penting berkumpul. Barangkali, kalau ungkapan itu diartikan secara harfiah, apakah kita faham dalam konteks apa ungkapan itu terjadi? Sementara jaman berubah, musim berganti. Kumpul di sini seyogyanya diartikan ada kesatuan bentuk sosialisasi untuk mencegah perpecahan. Ungkapan-nya : rukun agawé santosa, jika rukun, bersatu kita menjadi sentosa. Orang Jawa itu sebenarnya memiliki kemampuan adaptasi yang lentur. Tidak gétas. Gétas artinya mudah putus atau mudah patah.

. . . Tidak ada bukti tertulis, mengapa diberi nama Tinggarwangi. Sêsêpuh yang saya kenal, pernah mengatakan bahwa yang tepat adalah Sanggarwangi. Sementara beberapa orang tua di Tinggarwangi mengatakan Glagahwangi. Glagahwangi, Tinggarwangi ataukah Sanggarwangi? Nama yang manapun, secara lokasi merujuk pada desa yang sama.

. . . Jaman dulu, tidak aneh jika menyebut suatu desa atau daerah lebih mudah mengingat tokoh panutannya. Bila demikian bisa muncul sebutan : pa + Ganta + an. Artinya merujuk pada suatu wilayah dimana Éyang Ganta bermukim. Selanjutnya, karena langgam bahasa dan keluwesan bahasa tutur Jawa, menjadi Pagêntan. Apakah ada bukti tertulis? O, Allah, jangankan bukti tertulis. Wong masyarakat jaman itu termasuk budaya tutur.

. . . dikenal sebagai Karang Dhuwur. Lokasinya memang relatif tinggi, wéra (lega) dan kesan sangat egaliter (me-rakyat)

Mengingat efisiensi ruang dan kapasita blog, hanya muat utipan-kutipan tersebut di atas diambil dari ÉlingWong Tuwa - seri 3 – SANGGARWANGI. viii + 46 halaman A5. Soft copy format Acrobat PDF bagi warga IKSA, hubungi e-mail : turipto@gmail.com

Minggu, 24 Mei 2009

Data Baru untuk Buku Keluarga

Buku Keluarga ed. II, terakhir terbit tahun 2003. Kini 2009. Tentu sudah banyak data baru yang diperlukan. Kirimkan data keluarga, baik perubahan ataupun penambahan. Gambar di sebelah kiri adalah halaman 22 Buku Keluarga yang lama. Gambar kanan setelah ada perubahan data. Dikirim oleh widiya_j@yahoo.com. Siapa menyusul? Hubungi saya bila perlu soft copy Buku Keluarga dalam format PDF.

Sabtu, 23 Mei 2009

KONTRIBUSI

KONTRIBUSI (1)
Menjelang pertemuan IKSA di Pondok Gede 29 April 2009, Dika Prima Praseya (3.6.1) bertanya : "Waktu pertemuan di Bekasi, mbah mengatakan gembira, dan berharap pertemuan berikut dapat dilaksanakan di Pondok Gede. Kegembiraan apa si, mBah?" Begini, ya : "Pertama, peremajaan berjalan. Kedua, lebih komunikatif. Saya telah melihat suatu geliat baru. Cobalah, sedikit ikuti butir-butir berikut ini."
  1. Sebangun dengan pemikiran awal, IKSA juga akan tetap berjalan bila diurus oleh yang muda-muda. Saya dan para sepuh yang lain, tidak harus mengambil posisi dominan. Peranan justru oleh mereka yang saya sebut sebagai generasi penerus. Kan cukup banyak dan mampu. Orang tua-tua cukup sebagai pengamat dan memberi masukan jika perlu.
  2. IKSA sebagai suatu ikatan kekerabatan itu, milik kalian, kamu dan saudara-saudaramu seluruh warga IKSA. Tumbuhkan rasa pengertian mélu ndarbéni. Secara harfiah, memang berarti : ikut memiliki. Namun, juga punya makna memiliki dan dimiliki. Bila ada erosi kekerabatan, kurang, bahkan kabur, maka pertanda kekeroposan akan nampak. Bila pertanda itu ada, seyogyanya masing-masing mengadakan retrospeksi dan introspeksi.
  3. Partisipasi aktif menjadi kontribusi yang penting. Kontribusi apapun bentuknya dapat menjadi penunjang kekerabatan. Bangunan akan relatif kokoh, kalau banyak penunjangnya. Bukan karena besar atau kecilnya, banyak atau sedikit, tetapi kebersamaan. Maka buatlah bingkai-bingkai aplikasi yang tidak monoton (satu nada) juga tidak monochrome (satu warna). Artinya tidak sungkan membuat format-format yang luwes, yang dapat menyerap kegiatan dan cita-cita warganya.
  4. Komunikasi aktif sudah terlihat. Bahkan sebelum pertemuan berlangsung. Masing-masing boleh dan diberi kesempatan menyampaikan pendapat, saran, atau apapun namanya dalam forum. Di luar juga bisa, tetapi kemungkinan besar tidak menyeluruh dan efektif. Kalau masih ada yang belum, barangkali perlu warming up saja.Kalau ada sebutan siapa ketua, sekretaris, anggota dan semacamnya, itu adalah tatanan dalam suatu paguyuban, yakni paguyuban kekerabatan. Bendi bisa berjalan kalau ada kuda. Jalan kuda dapat terarah karena ada sais atau kusirnya. Bukan atas dasar kepentingan politik, ekonomi, suku, keagamaan, kedinasan dan semacamnya, melainkan kekerabatan. Ada kemajemukan dalam kekerabatan ini. Warganya tidak semata-mata dari daerah Banyumas. Pendidikan, kehidupan sosial ekonomi, "achievement" juga beda-beda. Segi keyakinan, juga tidak satu macam dan gaya. Paguyuban ini harus dapat menjadi wadah kemajemukan itu. Warna kultural dapat menjadi jembatan bagi semua warga IKSA.
Kita perlu luwes, namun tetap menjaga nilai kekerabatan sebagai dasar khasanah. Arisan tidak lagi menjadi bingkai utama. Secara teknis, ada saat-saat semua warga tidak dapat berkumpul serentak. Pertemuan hanya salah satu bentuk komunikasi. Masih banyak cara lain. Namun karena ada interaksi personal, maka ada "mood" tertentu, yang dapat kita rasakan.

Terakhir, mengapa saya ingin pertemuan beikut di Pondok Gede, tentu ada alasan. Pertama, saya tidak ingin untuk berkumpul saja kok harus "urut kacang". Artinya, dari yang tua ke yang lebih muda, begitu seterusnya. Karena suatu pertemuan kekerabatan bisa saja bersamaan atau dalam kaitannya dengan suatu "hajat keluarga", berbagi kebahagiaan dan lain-lain.
KONTRIBUSI (2)

Pertemuan IKSA tanggal 29 Mei 2009, berlangsung di Pondok Gede. Dengan tempat umpêl-umpêlan, meskipun sudah menggeser meja kursi dan pot-pot tanaman hias – yang kadang-kadang tidak menghias tapi ngrupêki. Padahal sudah melakukan bladhahan. Bladhahan adalah melepas daun pintu, jendela, bahkan dinding yang terbuat dari papan (gêbyog) pada rumah-rumah tradisional jawa dulu. Dilakukan untuk memperlancar simpang siurnya orang pada saat punya hajat. Selaku yang mêngku gawé, saya senang banyak yang datang. Terima kasih. Selain gêthok tular berita, saya juga telah ber-halo-halo. Kalau ada yang tidak nyambung, barangkali DWT (Daftar Warga Tetap) yang saya miliki belum komplit. Maafkan! Semula ada keinginan dalam "welcome speech" menggunakan bahasa Jawa gagrag Banyumasan. Eh malah ora mêtu. mBok darani lucu, kayak wayang orang. nDéan taah, akèh sing gêgêt (tertawa terpingkal-pingkal). Mereka semua turun tangan. Kontribusi logistik, kontribusi tenaga. Semua terwujud. Eh, lha sing mêngku gawé pensiunan, sih! Terima kasih.Saya gunakan istilah mêngku gawé, karena inti yang saya lakukan adalah menyediakan akomodasi. Meski bisa disebut sahibul bait, ataupun host, tetapi the real host adalah mereka yang kêpatah ngurusi IKSA. Merekalah yang punya gawé . Apa sih, kêpatah?
Buku Keluarga
Eyang Subagyo Setyoprihatmodjo (6) dari Jatilawang berkenan menghadiri. Ini adalah suatu kehormatan keluarga. Beliau hadir beserta putra-wayah di Jakarta. (Eh, ada yang belum lengkap dalam Buku Keluarga, lho). Saya berharap beliau merasa nyaman dalam pertemuan. Maklum semua lesehan. cuaca terasa panas.
Salah satu pokok uraian beliau adalah : pentingnya memperbaharui data Buku Keluarga. Hingga kini (2009) Buku Keluarga sudah berumur enam tahun. Edisi ke I tahun 2002,dan edisi II tahun 2003. Kalau mengingat bahwa Buku Keluarga kita, adalah jenis yang pertama, yang juga diinginkan oleh pihak lain. Yakni, bukan hanya yang terkait dalam "family tree" Sudiwan Atmosumarto. Cobalah sedikit bayangkan, bahwa menjadi buku yangcuma seperti itu saja, telah diusahakan mengumpulkan data sejak tahun 1987. Lha wong soft copy-nya masih ada kok. Masih pakai disket yangmaksmum isi cuma ± 360 kilo bytes. Sedangkan floppy disk Sony sudah 1.4 mega bytes. Semuanya sekarang sudah tidak jaman. Sekarang saya sudah sulit membacanya, karena perangkat (disk drive) sudah tidak punya. Belum jaman hard dsik kayak sekarang yang ukurannya ber-gega-gega.

Cara mengumpulkan data dibantu oleh saudara-saudara seperti Alm. Soewargo (2). Dengan formulir, telepon kabel bagi yang kebetulan memiliki serta berbagai cara. Kerennya sih : menggunakan any communication means. Saya tidak mungkin menunggu kelewat lama. Bisa-bisa tidak akan pernah terealisir. En toch masih begitu banyak yang cuek. Kini, untuk kesekian kalinya - Éyang Subagyo - menghimbau kita semua, bersama-sama memperbaharui data. Ada yang dulu masih kecil, sekarang sudah punya si kecil. Dulu masih seger, sekarang sudah tiada, dan seterusnya.
2-2-7
Ada hal baru. Ilham Budiman membuat suatu penyajian tentang mengenal diri. Rumus antara lain senyum 2-2-7. Bagaimana risalahnya, coba kontak. Ini saya nilai sebagai suatu hal positif. Bagian dari oleh-oleh suatu pertemuan. Saya berharap risalah secara ringkas suatu saat muncul Blog IKSA. Halo Sari, tolong sampaikan ke Mas Iman ya? Bikin resumenya untuk dibagikan lewat Blog.

Pertemuan selanjutnya di Matraman, untuk dan atas keluarga 7.1 SARI WULANDARI <> MUSTOFA sekaligus mengenang Alm. Eyang Sarwotom, sekitar bulan Juli 2009. Kita tunggu resumenya. - Salam, Turipto Ds.

Gayung_Bersambut (1)

Kula nuwun: Sêkalané Kémutan (selagi ingat) adalah upaya kontribusi saya dalam blog IKSA, yang dirintis oleh para cucu dan buyut Éyang Sudiwan Atmosumarto yang tergabung dalam IKSA (Ikatan Keluarga Sudiwan Atmosumarto). Tulisan yang tertera, berisi pendapat saya pribadi. Perbedaan persepsi dan atau pendapat sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu saya membuka sepenuhnya : saran, pendapat, usul atau komentar apapun sifatnya, agar tercipta komunikasi yang lebih intens antar warga IKSA, agar terdapat saling Asah, Asih dan Asuh. Pamuji rahayu marang para kadang, muga Gusti Kang Maha Agung tansah paring pêpadhang. – Turipto Ds. (8)

GAYUNG BERSAMBUT (1)
Pertemuan IKSA menggeliat kembali. Setelah mengalami periode "bulan tenang" IKSA kembali mengadakan pertemuan pada saat Ilham Budiman (7.2) mengundang kedatangan saya – serta kerabat IKSA lain – ke rumahnya di Bogor, untuk têmu kangên. Ungkapan yang terasa pas. Beruntung, saya mendapat tumpangan atas jasa baik keluarga Ahmad Isroil (Endang Ekowati 6.1). Makasih, ya!

Iman, (nama bêkèn : Ilham Budiman 7.2) ingin pertemuan IKSA kembali aktif. Keinginan seperti itu, juga telah terdengar dari warga IKSA yang lain, a.l. keluarga Ahmad Isroil (Endang Ekowati 6.1) Terasa sudah cukup lama tidak terselenggara. Entèn-êntènên? Nah, ini tambahan masukan yang perlu di-apresiasi. Lha, mbok ana sing nggrundhêngi : sing siki tuwa dhéwèk koh mênêng baé. Ora tandang! (Konon, kata para legislator : kan harus mendengarkan suara konstituen.) Saya sangat setuju, dengan sedikit pendapat, bila mungkin:

1. Jangan menunggu dan atau tergantung pada kami yang tergolong orang tua (barangkali saja bisa ditua-kan) di kalangan IKSA Jakarta. Sudah banyak generasi berikut yang masih segar serta memiliki ide-ide yang lebih memadai, mempunyai kemampuan how to organize, maintain and develop the spirit of brotherhood. Tuuh, kan!
2. Seyogyanya, atas dasar kenyataan selama ini, jangan hanya terikat dengan bingkai arisan, agar tidak masuk dalam pola teknis. Ada kerangka dasar yang lebih signifikan untuk tetap terpelihara, ya : the spirit of brotherhood tadi. Itupun bisa diterjemahkan sebagai kekerabatan, kerukunan, yang rumêngkuh.
3. Jadikan pertemuan IKSA not just a regular gathering. mengikuti gaya kelompok sejenis. It’s a matter of respect yang mendasari jiwa kekerabatan.
4. Sukur bagé : ada adding value (ehh, nilai tambah, gitu!). Anggêr tambah dhuwit, taah, katoné ora!
Lanjutkan. Kami yang tua alias masuk jajaran sêpuh diharap tidak sêpah, sehingga bisa ikut ngêmong, jika mampu. Gayung telah bersambut. - Kêsuwun – Turipto Ds.

GAYUNG BERSAMBUT (2)
Saya ikut senang! Pertemuan IKSA Jakarta berlangsung di rumah keluarga Andang Heru Sancoko 5.1 terasa ada atmosfir baru! Betapa tidak, lha wong sahibul bait alias hostnya personally call me. Eh, bapaknya yang jauh-jauh dari Margasana, juga rawuh, mengharap betul saya bisa hadir. Perhatian dari kakak kepada adiknya. Saya ha-ha he-he, sisan gawé plêsir wêruh kota legenda Bekasi. Biasaa, ana sing nyangking. Makasih Mega! (6.2.2).

Benang merah kekerabatan
Pandangan mata : ada Eko Darmanto (Mamie Duryatmi 3.6Z), Dika Prima Prasetya (3.6.1), Lafanda (3.4.1), bahkan Sudarmadi (3.2) Fani Pradita (3.2.3), saya lihat partisipasi aktif. (Wah, banyak juga kalau disebut satu-satu. Jadi saya gunakan istilah yang baku di Tinggarwangi : mbotên nyawiji-wiji). Masing-masing disapa dan menyapa. Eh, lha wong hostnya pakai cue card juga, kok! Lain kali kan lanyah alias mengalir begitu saja. Nggak kalah sama rapat di corporate. Éyang, Bapak, Pak Lik, Pak Dhé, Kamas Utoyo Martosantjoko (5) – ejaan lama ditulis Oetojo Martosantjoko – terlihat bombong, sukur! Mau tahu apa yang terjadi dan dibahas? Kontaklah dengan mereka! Itulah gunanya e-mail dan blog. Aja inyong, wis klêbu tuwa dé takonI baé. Ambêkan baé kudu dé tata, malah dadi gawé. Wis wayahé ngomong, ana sing ngrungokna. Sukur dérungokna.

Sekilas, kata it’s matter of respect mulai terwujud. Gayung bersambut. Lah wong kita semua sudah ngerti, kok. Mung kari nglakoni. Jadi ada rasa ngrêgani, bukan karena tua-muda, lebih dan kurang, jauh dan dekat. Semua terikat secara alamiah pada benang merah yang namanya kekerabatan.

Pancadan
Khusus dalam pertemuan tersebut saya sampaikan suatu kilas balik. Nyaris seluruh warga IKSA yang berada di Jakarta, barangkali tak terjadi sebanyak ini bila bukan karena lantaran Eyang Utoyo Martosantjoko (5). Beliau-lah yang pertama kali melangkahkan kaki ke Jakarta (1962), masuk ke Garuda Indonesia. Sarwoto (7), Turipto (8), Kurniatin (9) dan Siti Rahayu (11) mengenyam pendidikan dan kehidupan di Jakarta karena beliau. Eyang Utoyo menjadi PANCADAN. Akhirnya kita semua menjadi kerabat. Terima kasih Eyang Utoyo!

Secara harfiah, pancadan adalah tempat dan alat berpijak. Kalau kita mau meraih suatu benda yang posisinya di atas kita, dan tidak mampu meraihnya meski sudah berdiri dan menjulurkan lengan setinggi mungkin, masih juga belum berhasil meraih, maka kita gunakan alat atau benda sebagai pijakan. Konteks pemahaman adalah : beliau telah menyediakan diri sebagai pijakan, penopang kehidupan adik-adiknya.

Pengertian pancadan tidak sama dengan lantaran. Pancadan, cenderung pada pengertian ikut bertanggung jawab. Faktor penyangga supaya yang berpijak tidak jatuh, supporting factor. Pancadan berperan aktif. Dalam adab keluarga, hal tersebut merupakan sikap moral. Yang kuat ada kewajiban moral membantu yang lemah, yang tua pengertiannya membantu yang masih kurang memahami suatu pengertian. Tak ada yang ditinggikan dan direndahkan. Tidak harus sama dan sebangun secara kualitatif maupun kuantitatif. Semua terjadi karena sikap moral rasa kasih, wêlas asih (rohim) sebagai anugerah dari Sang Khalik dalam diri kita. Bukan dengan kata : kasihan dalam konteks bahasa Indonesia. Sementara yang lemah atau kurang kuatpun tidak boleh bergantung (nggandhul), karena dapat berdampak menjadi beban. So, what should we do? Mulat salira and doing respect, man!
  • (Dia bertanya) : "Eh, tapi, ada beberapa hal yang saya tidak sependapat, tidak sesuai; bahkan aku kurang suka dengan seseorang meski pernah jadi pancadan bagi aku. Apa juga harus respect? Itu gimana?" – Suka atau tidak suka itu kan ekspresi dari kamu punya mind. Mind erat kaitannya dengan will, keinginan. Sedangkan respect adalah sikap moral. It’s beyond your mind, cah bagus! – Eeh, kalau tidak setuju, ya sudah! Ngapurané, ya!

Semoga apa yang mulai dijalankan (kembali) dapat lancar. Gayung sudah bersambut. Masih banyak yang bisa dilakukan untuk kebaikan bersama. Terima kasih, matur nuwun. - Turipto Ds.