Jumat, 26 Juni 2009

MENGENANG

Tanggal 21 Juni 2009, bertepatan dengan tanggal wafatnya Éyang /Éyang Buyut/Canggah Sêrkini Atmosumarto. Beliau wafat pada hari Slasa Pahing, 21 Juni 1970. Tanggal lahir, tidak saya ketahui; yang diketahui adalah catatan hari pernikahan beliau dengan Éyang /Éyang Buyut/Canggah Sudiwan Atmosumarto, yakni pada tanggal 1 Desember 1925.

Inset, gambar beliau tatkala menjenguk keluarga Utojo Martosancoko di Jatinegara (Warung Asem) tahun 1968. (Keluarga Sudiwan Atmosumarto, ed. 2, 2003 hal. 43) Maaf saya tidak ingat kapan persisnya. Saya hapal betul, beliau duduk di kursi malas dari rotan. Tidak ketinggalan kinangnya. Beliau mempunyai kebiasaan – sebagaimana orang jamannya - mengunyah sirh (nginang). Campuran antara daun sirih, gambir, buah pinang, kapur dan tembakau. Mereka yang melakukannya, rata giginya sangat kuat. Tidak gampang ompong. Tapi tidak secermerlang di iklan pasta gigi!

. . . Anak pertama, Soediro (1) pada tanggal 29 April 1929. Anak terakhir, Siti Rahayu (11) lahir 23 Desember 1953. Usia 15 tahun simbok sudah menyusui, ngêmban bocah 11 orang! Begitu susul-menyusul dalam rentang waktu hampir 24 tahun.

. . . Ngêmban bocah, (kata kerja) dari kata (ng)êmban yang artinya menyandang beban dengan kain pada sebelah kiri atau kanan, bagian depan badan. Biasanya dilakukan oleh orang perempuan. Kain penyandang dililitkan dan tersangkut pada bahu atau pundhak (bahu) si pembawa. Bocah berarti anak. Jadi, ngêmban bocah berarti : (1) Menyandang atau membawa anak dengan cara di-êmban. (2) Ungkapan ngêmban bocah juga diartikan mempunyai anak. Dengan cara demikian, seorang ibu dapat menyusui seorang bayi atau anak kecil, sekaligus melakukan kegiatan ringan. Kata ngêmban dipakai untuk menunjukkan perlakuan orang tua, khususnya seorang ibu yang melindungi (care and protect) anaknya . . . (Péngêtan, Turipto Danusumarto, Jakarta 2004, hal 3)

Sabtu, 13 Juni 2009

DOKUMENTASI

Pawon Gêndhèng
Membuat genteng (gêndhèng), telah menjadi tradisi pencaharian wargaTinggarwangi sejak lama.
Sumber bahan baku dari tanah-tanah kosong di desa, serta lapisan atas tanah sawah yang sudah kurang subur. Pasir dari sungai Tajum. Konsumen sampai mencapai bagian timur Jawa Barat, diangkut truck, gerobag dan perahu menyusuri sungai Tajum sungai Serayu, laut selatan, masuk sungai Donan di perbatasan Cilacap - Jawa Barat. Kini sudah mulai hilang.

Éyang Maryati (3) dan Éyang K. Kartoatmadja adalah pengusaha ulet bidang pembuatan, pembakaran dan penjualan serta distribusi genteng. Gambar lama ini menunjukkan pawon (tungku) pembakaran genteng. Yang mejeng sih, adik-adiknya, anak cucu dan tetangga. Gambar diambil sekitar tahun 1969-1970. Masih jaman foto hitam putih. Masa itu, bisnis genteng dengan memiliki tungku pembakaran, sudah termasuk golongan menengah. Bisakah kalian mengenali siapa mereka?

Jumat, 12 Juni 2009

Mata Uang Lama


Mata uang Indonesia adalah Rupiah (simbolnya Rp). Satu rupiah terdiri atas 100 sen. Pernah melihat dan menggunakan uang satu rupiah? Tahun 1962, satu dollar Amerika nilainva sekitar Rp 95,00. Sekarang ?

Bagian atas, tampak depan uang kertas senilai Rp 2,50 atau satu ringgit emisi tahun 1960.. Orang-oarg Tinggarwangi waktu itu menyebut karo tengah gélo (dua setengah rupiah). Di baliknya, tertera peringatan dalam ejaan Suwandi, tertulis : Barangsiapa meniru atau memalsukan uang kertas dan barangsiapa mengeluarkan dengan sengadja atau menjimpan uang kertas tiruan atau uang kertas jang dipalsukan akan dituntut dimuka hakim. Sekarang, mata uang kertas kita tidak ada peringatan seperti itu. Jadi, si pemalsu makin tidak takut?

Gambar bawah, salah satu sisi mata uang logam benggol, dibesarkan 250%. Satu benggol adalah 2,5 sen. (Rp 0,025) Tertera aksara Latin di sisi depan, juga ada aksara Arab dan aksara Jawa, yang berbunyi sapara patang puluh rupiyah. Tidak menyebut dua setengah sen, tetapi memakai sebutan seperempat puluh (1/40) rupiah.

Selain informasi grafis berupa gambar, simbol, aksara dan angka, para perancang mata uang juga sudah mempertimbangkan bahan, berat, guratan, maupun warna. Tidak semata-maia keamanan dari tindak pemalsuan, tetapi rnemudahkan pengenalan bagi semua orang; tuna netra, tuna wicara dan tuna-tuna lain termasuk tuna karya.

Kalian warga IKSA, punya koleksi mata uang apa? Dolar Amerika, SIngapore, ringgit Malaysia, rupee India, yen Japeng (¥), £ Inggris, dll. Hallo, yang di Jerman, Abu Dabi dan lain-lain, tolong dong ceriterakan tentang mata uang. Uangnya tidak usah. Mata uang Perancis desainnya cantik sekali, lho!. Entry ini buat ngrame-ngramein, kok.
Bingung mau ngomong. Walaupun saya ngerti sedikit bhs Jawa tapi bagus juga your opinion.Maybe

POSTING AND COMMENTS

Klik komentar di bawah ini untuk menyampaikan pendapat dan saran.

Kamis, 11 Juni 2009

Éling Wong Tuwa - seri 3

. . . dalam banyak hal, desa kelahiran tidak hanya dipandang sebagai lokasi, melainkan bagian dari sejarah, kultural dan emosi seseorang . . .

— Orang Jawa kan katanya : mangan ora mangan anggêr kumpul. Itu bagaimana Pa?
— Ya. Ada pendapat demikian, yang diartikan secara harfiah. Enak atau tidak enak, yang penting berkumpul. Barangkali, kalau ungkapan itu diartikan secara harfiah, apakah kita faham dalam konteks apa ungkapan itu terjadi? Sementara jaman berubah, musim berganti. Kumpul di sini seyogyanya diartikan ada kesatuan bentuk sosialisasi untuk mencegah perpecahan. Ungkapan-nya : rukun agawé santosa, jika rukun, bersatu kita menjadi sentosa. Orang Jawa itu sebenarnya memiliki kemampuan adaptasi yang lentur. Tidak gétas. Gétas artinya mudah putus atau mudah patah.

. . . Tidak ada bukti tertulis, mengapa diberi nama Tinggarwangi. Sêsêpuh yang saya kenal, pernah mengatakan bahwa yang tepat adalah Sanggarwangi. Sementara beberapa orang tua di Tinggarwangi mengatakan Glagahwangi. Glagahwangi, Tinggarwangi ataukah Sanggarwangi? Nama yang manapun, secara lokasi merujuk pada desa yang sama.

. . . Jaman dulu, tidak aneh jika menyebut suatu desa atau daerah lebih mudah mengingat tokoh panutannya. Bila demikian bisa muncul sebutan : pa + Ganta + an. Artinya merujuk pada suatu wilayah dimana Éyang Ganta bermukim. Selanjutnya, karena langgam bahasa dan keluwesan bahasa tutur Jawa, menjadi Pagêntan. Apakah ada bukti tertulis? O, Allah, jangankan bukti tertulis. Wong masyarakat jaman itu termasuk budaya tutur.

. . . dikenal sebagai Karang Dhuwur. Lokasinya memang relatif tinggi, wéra (lega) dan kesan sangat egaliter (me-rakyat)

Mengingat efisiensi ruang dan kapasita blog, hanya muat utipan-kutipan tersebut di atas diambil dari ÉlingWong Tuwa - seri 3 – SANGGARWANGI. viii + 46 halaman A5. Soft copy format Acrobat PDF bagi warga IKSA, hubungi e-mail : turipto@gmail.com