Sabtu, 23 Mei 2009

Gayung_Bersambut (1)

Kula nuwun: Sêkalané Kémutan (selagi ingat) adalah upaya kontribusi saya dalam blog IKSA, yang dirintis oleh para cucu dan buyut Éyang Sudiwan Atmosumarto yang tergabung dalam IKSA (Ikatan Keluarga Sudiwan Atmosumarto). Tulisan yang tertera, berisi pendapat saya pribadi. Perbedaan persepsi dan atau pendapat sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu saya membuka sepenuhnya : saran, pendapat, usul atau komentar apapun sifatnya, agar tercipta komunikasi yang lebih intens antar warga IKSA, agar terdapat saling Asah, Asih dan Asuh. Pamuji rahayu marang para kadang, muga Gusti Kang Maha Agung tansah paring pêpadhang. – Turipto Ds. (8)

GAYUNG BERSAMBUT (1)
Pertemuan IKSA menggeliat kembali. Setelah mengalami periode "bulan tenang" IKSA kembali mengadakan pertemuan pada saat Ilham Budiman (7.2) mengundang kedatangan saya – serta kerabat IKSA lain – ke rumahnya di Bogor, untuk têmu kangên. Ungkapan yang terasa pas. Beruntung, saya mendapat tumpangan atas jasa baik keluarga Ahmad Isroil (Endang Ekowati 6.1). Makasih, ya!

Iman, (nama bêkèn : Ilham Budiman 7.2) ingin pertemuan IKSA kembali aktif. Keinginan seperti itu, juga telah terdengar dari warga IKSA yang lain, a.l. keluarga Ahmad Isroil (Endang Ekowati 6.1) Terasa sudah cukup lama tidak terselenggara. Entèn-êntènên? Nah, ini tambahan masukan yang perlu di-apresiasi. Lha, mbok ana sing nggrundhêngi : sing siki tuwa dhéwèk koh mênêng baé. Ora tandang! (Konon, kata para legislator : kan harus mendengarkan suara konstituen.) Saya sangat setuju, dengan sedikit pendapat, bila mungkin:

1. Jangan menunggu dan atau tergantung pada kami yang tergolong orang tua (barangkali saja bisa ditua-kan) di kalangan IKSA Jakarta. Sudah banyak generasi berikut yang masih segar serta memiliki ide-ide yang lebih memadai, mempunyai kemampuan how to organize, maintain and develop the spirit of brotherhood. Tuuh, kan!
2. Seyogyanya, atas dasar kenyataan selama ini, jangan hanya terikat dengan bingkai arisan, agar tidak masuk dalam pola teknis. Ada kerangka dasar yang lebih signifikan untuk tetap terpelihara, ya : the spirit of brotherhood tadi. Itupun bisa diterjemahkan sebagai kekerabatan, kerukunan, yang rumêngkuh.
3. Jadikan pertemuan IKSA not just a regular gathering. mengikuti gaya kelompok sejenis. It’s a matter of respect yang mendasari jiwa kekerabatan.
4. Sukur bagé : ada adding value (ehh, nilai tambah, gitu!). Anggêr tambah dhuwit, taah, katoné ora!
Lanjutkan. Kami yang tua alias masuk jajaran sêpuh diharap tidak sêpah, sehingga bisa ikut ngêmong, jika mampu. Gayung telah bersambut. - Kêsuwun – Turipto Ds.

GAYUNG BERSAMBUT (2)
Saya ikut senang! Pertemuan IKSA Jakarta berlangsung di rumah keluarga Andang Heru Sancoko 5.1 terasa ada atmosfir baru! Betapa tidak, lha wong sahibul bait alias hostnya personally call me. Eh, bapaknya yang jauh-jauh dari Margasana, juga rawuh, mengharap betul saya bisa hadir. Perhatian dari kakak kepada adiknya. Saya ha-ha he-he, sisan gawé plêsir wêruh kota legenda Bekasi. Biasaa, ana sing nyangking. Makasih Mega! (6.2.2).

Benang merah kekerabatan
Pandangan mata : ada Eko Darmanto (Mamie Duryatmi 3.6Z), Dika Prima Prasetya (3.6.1), Lafanda (3.4.1), bahkan Sudarmadi (3.2) Fani Pradita (3.2.3), saya lihat partisipasi aktif. (Wah, banyak juga kalau disebut satu-satu. Jadi saya gunakan istilah yang baku di Tinggarwangi : mbotên nyawiji-wiji). Masing-masing disapa dan menyapa. Eh, lha wong hostnya pakai cue card juga, kok! Lain kali kan lanyah alias mengalir begitu saja. Nggak kalah sama rapat di corporate. Éyang, Bapak, Pak Lik, Pak Dhé, Kamas Utoyo Martosantjoko (5) – ejaan lama ditulis Oetojo Martosantjoko – terlihat bombong, sukur! Mau tahu apa yang terjadi dan dibahas? Kontaklah dengan mereka! Itulah gunanya e-mail dan blog. Aja inyong, wis klêbu tuwa dé takonI baé. Ambêkan baé kudu dé tata, malah dadi gawé. Wis wayahé ngomong, ana sing ngrungokna. Sukur dérungokna.

Sekilas, kata it’s matter of respect mulai terwujud. Gayung bersambut. Lah wong kita semua sudah ngerti, kok. Mung kari nglakoni. Jadi ada rasa ngrêgani, bukan karena tua-muda, lebih dan kurang, jauh dan dekat. Semua terikat secara alamiah pada benang merah yang namanya kekerabatan.

Pancadan
Khusus dalam pertemuan tersebut saya sampaikan suatu kilas balik. Nyaris seluruh warga IKSA yang berada di Jakarta, barangkali tak terjadi sebanyak ini bila bukan karena lantaran Eyang Utoyo Martosantjoko (5). Beliau-lah yang pertama kali melangkahkan kaki ke Jakarta (1962), masuk ke Garuda Indonesia. Sarwoto (7), Turipto (8), Kurniatin (9) dan Siti Rahayu (11) mengenyam pendidikan dan kehidupan di Jakarta karena beliau. Eyang Utoyo menjadi PANCADAN. Akhirnya kita semua menjadi kerabat. Terima kasih Eyang Utoyo!

Secara harfiah, pancadan adalah tempat dan alat berpijak. Kalau kita mau meraih suatu benda yang posisinya di atas kita, dan tidak mampu meraihnya meski sudah berdiri dan menjulurkan lengan setinggi mungkin, masih juga belum berhasil meraih, maka kita gunakan alat atau benda sebagai pijakan. Konteks pemahaman adalah : beliau telah menyediakan diri sebagai pijakan, penopang kehidupan adik-adiknya.

Pengertian pancadan tidak sama dengan lantaran. Pancadan, cenderung pada pengertian ikut bertanggung jawab. Faktor penyangga supaya yang berpijak tidak jatuh, supporting factor. Pancadan berperan aktif. Dalam adab keluarga, hal tersebut merupakan sikap moral. Yang kuat ada kewajiban moral membantu yang lemah, yang tua pengertiannya membantu yang masih kurang memahami suatu pengertian. Tak ada yang ditinggikan dan direndahkan. Tidak harus sama dan sebangun secara kualitatif maupun kuantitatif. Semua terjadi karena sikap moral rasa kasih, wêlas asih (rohim) sebagai anugerah dari Sang Khalik dalam diri kita. Bukan dengan kata : kasihan dalam konteks bahasa Indonesia. Sementara yang lemah atau kurang kuatpun tidak boleh bergantung (nggandhul), karena dapat berdampak menjadi beban. So, what should we do? Mulat salira and doing respect, man!
  • (Dia bertanya) : "Eh, tapi, ada beberapa hal yang saya tidak sependapat, tidak sesuai; bahkan aku kurang suka dengan seseorang meski pernah jadi pancadan bagi aku. Apa juga harus respect? Itu gimana?" – Suka atau tidak suka itu kan ekspresi dari kamu punya mind. Mind erat kaitannya dengan will, keinginan. Sedangkan respect adalah sikap moral. It’s beyond your mind, cah bagus! – Eeh, kalau tidak setuju, ya sudah! Ngapurané, ya!

Semoga apa yang mulai dijalankan (kembali) dapat lancar. Gayung sudah bersambut. Masih banyak yang bisa dilakukan untuk kebaikan bersama. Terima kasih, matur nuwun. - Turipto Ds.