Sabtu, 23 Mei 2009

KONTRIBUSI

KONTRIBUSI (1)
Menjelang pertemuan IKSA di Pondok Gede 29 April 2009, Dika Prima Praseya (3.6.1) bertanya : "Waktu pertemuan di Bekasi, mbah mengatakan gembira, dan berharap pertemuan berikut dapat dilaksanakan di Pondok Gede. Kegembiraan apa si, mBah?" Begini, ya : "Pertama, peremajaan berjalan. Kedua, lebih komunikatif. Saya telah melihat suatu geliat baru. Cobalah, sedikit ikuti butir-butir berikut ini."
  1. Sebangun dengan pemikiran awal, IKSA juga akan tetap berjalan bila diurus oleh yang muda-muda. Saya dan para sepuh yang lain, tidak harus mengambil posisi dominan. Peranan justru oleh mereka yang saya sebut sebagai generasi penerus. Kan cukup banyak dan mampu. Orang tua-tua cukup sebagai pengamat dan memberi masukan jika perlu.
  2. IKSA sebagai suatu ikatan kekerabatan itu, milik kalian, kamu dan saudara-saudaramu seluruh warga IKSA. Tumbuhkan rasa pengertian mélu ndarbéni. Secara harfiah, memang berarti : ikut memiliki. Namun, juga punya makna memiliki dan dimiliki. Bila ada erosi kekerabatan, kurang, bahkan kabur, maka pertanda kekeroposan akan nampak. Bila pertanda itu ada, seyogyanya masing-masing mengadakan retrospeksi dan introspeksi.
  3. Partisipasi aktif menjadi kontribusi yang penting. Kontribusi apapun bentuknya dapat menjadi penunjang kekerabatan. Bangunan akan relatif kokoh, kalau banyak penunjangnya. Bukan karena besar atau kecilnya, banyak atau sedikit, tetapi kebersamaan. Maka buatlah bingkai-bingkai aplikasi yang tidak monoton (satu nada) juga tidak monochrome (satu warna). Artinya tidak sungkan membuat format-format yang luwes, yang dapat menyerap kegiatan dan cita-cita warganya.
  4. Komunikasi aktif sudah terlihat. Bahkan sebelum pertemuan berlangsung. Masing-masing boleh dan diberi kesempatan menyampaikan pendapat, saran, atau apapun namanya dalam forum. Di luar juga bisa, tetapi kemungkinan besar tidak menyeluruh dan efektif. Kalau masih ada yang belum, barangkali perlu warming up saja.Kalau ada sebutan siapa ketua, sekretaris, anggota dan semacamnya, itu adalah tatanan dalam suatu paguyuban, yakni paguyuban kekerabatan. Bendi bisa berjalan kalau ada kuda. Jalan kuda dapat terarah karena ada sais atau kusirnya. Bukan atas dasar kepentingan politik, ekonomi, suku, keagamaan, kedinasan dan semacamnya, melainkan kekerabatan. Ada kemajemukan dalam kekerabatan ini. Warganya tidak semata-mata dari daerah Banyumas. Pendidikan, kehidupan sosial ekonomi, "achievement" juga beda-beda. Segi keyakinan, juga tidak satu macam dan gaya. Paguyuban ini harus dapat menjadi wadah kemajemukan itu. Warna kultural dapat menjadi jembatan bagi semua warga IKSA.
Kita perlu luwes, namun tetap menjaga nilai kekerabatan sebagai dasar khasanah. Arisan tidak lagi menjadi bingkai utama. Secara teknis, ada saat-saat semua warga tidak dapat berkumpul serentak. Pertemuan hanya salah satu bentuk komunikasi. Masih banyak cara lain. Namun karena ada interaksi personal, maka ada "mood" tertentu, yang dapat kita rasakan.

Terakhir, mengapa saya ingin pertemuan beikut di Pondok Gede, tentu ada alasan. Pertama, saya tidak ingin untuk berkumpul saja kok harus "urut kacang". Artinya, dari yang tua ke yang lebih muda, begitu seterusnya. Karena suatu pertemuan kekerabatan bisa saja bersamaan atau dalam kaitannya dengan suatu "hajat keluarga", berbagi kebahagiaan dan lain-lain.
KONTRIBUSI (2)

Pertemuan IKSA tanggal 29 Mei 2009, berlangsung di Pondok Gede. Dengan tempat umpêl-umpêlan, meskipun sudah menggeser meja kursi dan pot-pot tanaman hias – yang kadang-kadang tidak menghias tapi ngrupêki. Padahal sudah melakukan bladhahan. Bladhahan adalah melepas daun pintu, jendela, bahkan dinding yang terbuat dari papan (gêbyog) pada rumah-rumah tradisional jawa dulu. Dilakukan untuk memperlancar simpang siurnya orang pada saat punya hajat. Selaku yang mêngku gawé, saya senang banyak yang datang. Terima kasih. Selain gêthok tular berita, saya juga telah ber-halo-halo. Kalau ada yang tidak nyambung, barangkali DWT (Daftar Warga Tetap) yang saya miliki belum komplit. Maafkan! Semula ada keinginan dalam "welcome speech" menggunakan bahasa Jawa gagrag Banyumasan. Eh malah ora mêtu. mBok darani lucu, kayak wayang orang. nDéan taah, akèh sing gêgêt (tertawa terpingkal-pingkal). Mereka semua turun tangan. Kontribusi logistik, kontribusi tenaga. Semua terwujud. Eh, lha sing mêngku gawé pensiunan, sih! Terima kasih.Saya gunakan istilah mêngku gawé, karena inti yang saya lakukan adalah menyediakan akomodasi. Meski bisa disebut sahibul bait, ataupun host, tetapi the real host adalah mereka yang kêpatah ngurusi IKSA. Merekalah yang punya gawé . Apa sih, kêpatah?
Buku Keluarga
Eyang Subagyo Setyoprihatmodjo (6) dari Jatilawang berkenan menghadiri. Ini adalah suatu kehormatan keluarga. Beliau hadir beserta putra-wayah di Jakarta. (Eh, ada yang belum lengkap dalam Buku Keluarga, lho). Saya berharap beliau merasa nyaman dalam pertemuan. Maklum semua lesehan. cuaca terasa panas.
Salah satu pokok uraian beliau adalah : pentingnya memperbaharui data Buku Keluarga. Hingga kini (2009) Buku Keluarga sudah berumur enam tahun. Edisi ke I tahun 2002,dan edisi II tahun 2003. Kalau mengingat bahwa Buku Keluarga kita, adalah jenis yang pertama, yang juga diinginkan oleh pihak lain. Yakni, bukan hanya yang terkait dalam "family tree" Sudiwan Atmosumarto. Cobalah sedikit bayangkan, bahwa menjadi buku yangcuma seperti itu saja, telah diusahakan mengumpulkan data sejak tahun 1987. Lha wong soft copy-nya masih ada kok. Masih pakai disket yangmaksmum isi cuma ± 360 kilo bytes. Sedangkan floppy disk Sony sudah 1.4 mega bytes. Semuanya sekarang sudah tidak jaman. Sekarang saya sudah sulit membacanya, karena perangkat (disk drive) sudah tidak punya. Belum jaman hard dsik kayak sekarang yang ukurannya ber-gega-gega.

Cara mengumpulkan data dibantu oleh saudara-saudara seperti Alm. Soewargo (2). Dengan formulir, telepon kabel bagi yang kebetulan memiliki serta berbagai cara. Kerennya sih : menggunakan any communication means. Saya tidak mungkin menunggu kelewat lama. Bisa-bisa tidak akan pernah terealisir. En toch masih begitu banyak yang cuek. Kini, untuk kesekian kalinya - Éyang Subagyo - menghimbau kita semua, bersama-sama memperbaharui data. Ada yang dulu masih kecil, sekarang sudah punya si kecil. Dulu masih seger, sekarang sudah tiada, dan seterusnya.
2-2-7
Ada hal baru. Ilham Budiman membuat suatu penyajian tentang mengenal diri. Rumus antara lain senyum 2-2-7. Bagaimana risalahnya, coba kontak. Ini saya nilai sebagai suatu hal positif. Bagian dari oleh-oleh suatu pertemuan. Saya berharap risalah secara ringkas suatu saat muncul Blog IKSA. Halo Sari, tolong sampaikan ke Mas Iman ya? Bikin resumenya untuk dibagikan lewat Blog.

Pertemuan selanjutnya di Matraman, untuk dan atas keluarga 7.1 SARI WULANDARI <> MUSTOFA sekaligus mengenang Alm. Eyang Sarwotom, sekitar bulan Juli 2009. Kita tunggu resumenya. - Salam, Turipto Ds.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Jika huruf sedikit lebih besar, kranya lebih legible.

Turipto Ds. mengatakan...

Ya, memang setelah melihat hasilnya, maka sebaiknya memakai fonts normal, bukan small.

blog.ikhlasprima.com mengatakan...

Setuju banget. Saya aja merasakan dan terharu bgt rasa kekeluargaan dan gotong royong di kampus.Seharusnya di IKSA seperti itu tp kenyataannya seperti itu. Mau gmn lg?

Turipto Ds. mengatakan...

Terimakasih Dika,
Cara pertama jangan sungkan menyampaikan pendapat. You are free to expres your opinion. Tak ada yang bisa membatasi ide. Tolok ukur kan hanya di diri kita masing-masing. Kamu bahkan sudah bisa memasukkan entry, karena sudah masuk dalam daftar pengelola blog ini. Jadi nulis artikel, dengan gambar, ilustrasi sekalipun oke saja kok. Selamat belajar. - Tu Ds.