Minggu, 24 Mei 2009

Data Baru untuk Buku Keluarga

Buku Keluarga ed. II, terakhir terbit tahun 2003. Kini 2009. Tentu sudah banyak data baru yang diperlukan. Kirimkan data keluarga, baik perubahan ataupun penambahan. Gambar di sebelah kiri adalah halaman 22 Buku Keluarga yang lama. Gambar kanan setelah ada perubahan data. Dikirim oleh widiya_j@yahoo.com. Siapa menyusul? Hubungi saya bila perlu soft copy Buku Keluarga dalam format PDF.

Sabtu, 23 Mei 2009

KONTRIBUSI

KONTRIBUSI (1)
Menjelang pertemuan IKSA di Pondok Gede 29 April 2009, Dika Prima Praseya (3.6.1) bertanya : "Waktu pertemuan di Bekasi, mbah mengatakan gembira, dan berharap pertemuan berikut dapat dilaksanakan di Pondok Gede. Kegembiraan apa si, mBah?" Begini, ya : "Pertama, peremajaan berjalan. Kedua, lebih komunikatif. Saya telah melihat suatu geliat baru. Cobalah, sedikit ikuti butir-butir berikut ini."
  1. Sebangun dengan pemikiran awal, IKSA juga akan tetap berjalan bila diurus oleh yang muda-muda. Saya dan para sepuh yang lain, tidak harus mengambil posisi dominan. Peranan justru oleh mereka yang saya sebut sebagai generasi penerus. Kan cukup banyak dan mampu. Orang tua-tua cukup sebagai pengamat dan memberi masukan jika perlu.
  2. IKSA sebagai suatu ikatan kekerabatan itu, milik kalian, kamu dan saudara-saudaramu seluruh warga IKSA. Tumbuhkan rasa pengertian mélu ndarbéni. Secara harfiah, memang berarti : ikut memiliki. Namun, juga punya makna memiliki dan dimiliki. Bila ada erosi kekerabatan, kurang, bahkan kabur, maka pertanda kekeroposan akan nampak. Bila pertanda itu ada, seyogyanya masing-masing mengadakan retrospeksi dan introspeksi.
  3. Partisipasi aktif menjadi kontribusi yang penting. Kontribusi apapun bentuknya dapat menjadi penunjang kekerabatan. Bangunan akan relatif kokoh, kalau banyak penunjangnya. Bukan karena besar atau kecilnya, banyak atau sedikit, tetapi kebersamaan. Maka buatlah bingkai-bingkai aplikasi yang tidak monoton (satu nada) juga tidak monochrome (satu warna). Artinya tidak sungkan membuat format-format yang luwes, yang dapat menyerap kegiatan dan cita-cita warganya.
  4. Komunikasi aktif sudah terlihat. Bahkan sebelum pertemuan berlangsung. Masing-masing boleh dan diberi kesempatan menyampaikan pendapat, saran, atau apapun namanya dalam forum. Di luar juga bisa, tetapi kemungkinan besar tidak menyeluruh dan efektif. Kalau masih ada yang belum, barangkali perlu warming up saja.Kalau ada sebutan siapa ketua, sekretaris, anggota dan semacamnya, itu adalah tatanan dalam suatu paguyuban, yakni paguyuban kekerabatan. Bendi bisa berjalan kalau ada kuda. Jalan kuda dapat terarah karena ada sais atau kusirnya. Bukan atas dasar kepentingan politik, ekonomi, suku, keagamaan, kedinasan dan semacamnya, melainkan kekerabatan. Ada kemajemukan dalam kekerabatan ini. Warganya tidak semata-mata dari daerah Banyumas. Pendidikan, kehidupan sosial ekonomi, "achievement" juga beda-beda. Segi keyakinan, juga tidak satu macam dan gaya. Paguyuban ini harus dapat menjadi wadah kemajemukan itu. Warna kultural dapat menjadi jembatan bagi semua warga IKSA.
Kita perlu luwes, namun tetap menjaga nilai kekerabatan sebagai dasar khasanah. Arisan tidak lagi menjadi bingkai utama. Secara teknis, ada saat-saat semua warga tidak dapat berkumpul serentak. Pertemuan hanya salah satu bentuk komunikasi. Masih banyak cara lain. Namun karena ada interaksi personal, maka ada "mood" tertentu, yang dapat kita rasakan.

Terakhir, mengapa saya ingin pertemuan beikut di Pondok Gede, tentu ada alasan. Pertama, saya tidak ingin untuk berkumpul saja kok harus "urut kacang". Artinya, dari yang tua ke yang lebih muda, begitu seterusnya. Karena suatu pertemuan kekerabatan bisa saja bersamaan atau dalam kaitannya dengan suatu "hajat keluarga", berbagi kebahagiaan dan lain-lain.
KONTRIBUSI (2)

Pertemuan IKSA tanggal 29 Mei 2009, berlangsung di Pondok Gede. Dengan tempat umpêl-umpêlan, meskipun sudah menggeser meja kursi dan pot-pot tanaman hias – yang kadang-kadang tidak menghias tapi ngrupêki. Padahal sudah melakukan bladhahan. Bladhahan adalah melepas daun pintu, jendela, bahkan dinding yang terbuat dari papan (gêbyog) pada rumah-rumah tradisional jawa dulu. Dilakukan untuk memperlancar simpang siurnya orang pada saat punya hajat. Selaku yang mêngku gawé, saya senang banyak yang datang. Terima kasih. Selain gêthok tular berita, saya juga telah ber-halo-halo. Kalau ada yang tidak nyambung, barangkali DWT (Daftar Warga Tetap) yang saya miliki belum komplit. Maafkan! Semula ada keinginan dalam "welcome speech" menggunakan bahasa Jawa gagrag Banyumasan. Eh malah ora mêtu. mBok darani lucu, kayak wayang orang. nDéan taah, akèh sing gêgêt (tertawa terpingkal-pingkal). Mereka semua turun tangan. Kontribusi logistik, kontribusi tenaga. Semua terwujud. Eh, lha sing mêngku gawé pensiunan, sih! Terima kasih.Saya gunakan istilah mêngku gawé, karena inti yang saya lakukan adalah menyediakan akomodasi. Meski bisa disebut sahibul bait, ataupun host, tetapi the real host adalah mereka yang kêpatah ngurusi IKSA. Merekalah yang punya gawé . Apa sih, kêpatah?
Buku Keluarga
Eyang Subagyo Setyoprihatmodjo (6) dari Jatilawang berkenan menghadiri. Ini adalah suatu kehormatan keluarga. Beliau hadir beserta putra-wayah di Jakarta. (Eh, ada yang belum lengkap dalam Buku Keluarga, lho). Saya berharap beliau merasa nyaman dalam pertemuan. Maklum semua lesehan. cuaca terasa panas.
Salah satu pokok uraian beliau adalah : pentingnya memperbaharui data Buku Keluarga. Hingga kini (2009) Buku Keluarga sudah berumur enam tahun. Edisi ke I tahun 2002,dan edisi II tahun 2003. Kalau mengingat bahwa Buku Keluarga kita, adalah jenis yang pertama, yang juga diinginkan oleh pihak lain. Yakni, bukan hanya yang terkait dalam "family tree" Sudiwan Atmosumarto. Cobalah sedikit bayangkan, bahwa menjadi buku yangcuma seperti itu saja, telah diusahakan mengumpulkan data sejak tahun 1987. Lha wong soft copy-nya masih ada kok. Masih pakai disket yangmaksmum isi cuma ± 360 kilo bytes. Sedangkan floppy disk Sony sudah 1.4 mega bytes. Semuanya sekarang sudah tidak jaman. Sekarang saya sudah sulit membacanya, karena perangkat (disk drive) sudah tidak punya. Belum jaman hard dsik kayak sekarang yang ukurannya ber-gega-gega.

Cara mengumpulkan data dibantu oleh saudara-saudara seperti Alm. Soewargo (2). Dengan formulir, telepon kabel bagi yang kebetulan memiliki serta berbagai cara. Kerennya sih : menggunakan any communication means. Saya tidak mungkin menunggu kelewat lama. Bisa-bisa tidak akan pernah terealisir. En toch masih begitu banyak yang cuek. Kini, untuk kesekian kalinya - Éyang Subagyo - menghimbau kita semua, bersama-sama memperbaharui data. Ada yang dulu masih kecil, sekarang sudah punya si kecil. Dulu masih seger, sekarang sudah tiada, dan seterusnya.
2-2-7
Ada hal baru. Ilham Budiman membuat suatu penyajian tentang mengenal diri. Rumus antara lain senyum 2-2-7. Bagaimana risalahnya, coba kontak. Ini saya nilai sebagai suatu hal positif. Bagian dari oleh-oleh suatu pertemuan. Saya berharap risalah secara ringkas suatu saat muncul Blog IKSA. Halo Sari, tolong sampaikan ke Mas Iman ya? Bikin resumenya untuk dibagikan lewat Blog.

Pertemuan selanjutnya di Matraman, untuk dan atas keluarga 7.1 SARI WULANDARI <> MUSTOFA sekaligus mengenang Alm. Eyang Sarwotom, sekitar bulan Juli 2009. Kita tunggu resumenya. - Salam, Turipto Ds.

Gayung_Bersambut (1)

Kula nuwun: Sêkalané Kémutan (selagi ingat) adalah upaya kontribusi saya dalam blog IKSA, yang dirintis oleh para cucu dan buyut Éyang Sudiwan Atmosumarto yang tergabung dalam IKSA (Ikatan Keluarga Sudiwan Atmosumarto). Tulisan yang tertera, berisi pendapat saya pribadi. Perbedaan persepsi dan atau pendapat sangat mungkin terjadi. Oleh karena itu saya membuka sepenuhnya : saran, pendapat, usul atau komentar apapun sifatnya, agar tercipta komunikasi yang lebih intens antar warga IKSA, agar terdapat saling Asah, Asih dan Asuh. Pamuji rahayu marang para kadang, muga Gusti Kang Maha Agung tansah paring pêpadhang. – Turipto Ds. (8)

GAYUNG BERSAMBUT (1)
Pertemuan IKSA menggeliat kembali. Setelah mengalami periode "bulan tenang" IKSA kembali mengadakan pertemuan pada saat Ilham Budiman (7.2) mengundang kedatangan saya – serta kerabat IKSA lain – ke rumahnya di Bogor, untuk têmu kangên. Ungkapan yang terasa pas. Beruntung, saya mendapat tumpangan atas jasa baik keluarga Ahmad Isroil (Endang Ekowati 6.1). Makasih, ya!

Iman, (nama bêkèn : Ilham Budiman 7.2) ingin pertemuan IKSA kembali aktif. Keinginan seperti itu, juga telah terdengar dari warga IKSA yang lain, a.l. keluarga Ahmad Isroil (Endang Ekowati 6.1) Terasa sudah cukup lama tidak terselenggara. Entèn-êntènên? Nah, ini tambahan masukan yang perlu di-apresiasi. Lha, mbok ana sing nggrundhêngi : sing siki tuwa dhéwèk koh mênêng baé. Ora tandang! (Konon, kata para legislator : kan harus mendengarkan suara konstituen.) Saya sangat setuju, dengan sedikit pendapat, bila mungkin:

1. Jangan menunggu dan atau tergantung pada kami yang tergolong orang tua (barangkali saja bisa ditua-kan) di kalangan IKSA Jakarta. Sudah banyak generasi berikut yang masih segar serta memiliki ide-ide yang lebih memadai, mempunyai kemampuan how to organize, maintain and develop the spirit of brotherhood. Tuuh, kan!
2. Seyogyanya, atas dasar kenyataan selama ini, jangan hanya terikat dengan bingkai arisan, agar tidak masuk dalam pola teknis. Ada kerangka dasar yang lebih signifikan untuk tetap terpelihara, ya : the spirit of brotherhood tadi. Itupun bisa diterjemahkan sebagai kekerabatan, kerukunan, yang rumêngkuh.
3. Jadikan pertemuan IKSA not just a regular gathering. mengikuti gaya kelompok sejenis. It’s a matter of respect yang mendasari jiwa kekerabatan.
4. Sukur bagé : ada adding value (ehh, nilai tambah, gitu!). Anggêr tambah dhuwit, taah, katoné ora!
Lanjutkan. Kami yang tua alias masuk jajaran sêpuh diharap tidak sêpah, sehingga bisa ikut ngêmong, jika mampu. Gayung telah bersambut. - Kêsuwun – Turipto Ds.

GAYUNG BERSAMBUT (2)
Saya ikut senang! Pertemuan IKSA Jakarta berlangsung di rumah keluarga Andang Heru Sancoko 5.1 terasa ada atmosfir baru! Betapa tidak, lha wong sahibul bait alias hostnya personally call me. Eh, bapaknya yang jauh-jauh dari Margasana, juga rawuh, mengharap betul saya bisa hadir. Perhatian dari kakak kepada adiknya. Saya ha-ha he-he, sisan gawé plêsir wêruh kota legenda Bekasi. Biasaa, ana sing nyangking. Makasih Mega! (6.2.2).

Benang merah kekerabatan
Pandangan mata : ada Eko Darmanto (Mamie Duryatmi 3.6Z), Dika Prima Prasetya (3.6.1), Lafanda (3.4.1), bahkan Sudarmadi (3.2) Fani Pradita (3.2.3), saya lihat partisipasi aktif. (Wah, banyak juga kalau disebut satu-satu. Jadi saya gunakan istilah yang baku di Tinggarwangi : mbotên nyawiji-wiji). Masing-masing disapa dan menyapa. Eh, lha wong hostnya pakai cue card juga, kok! Lain kali kan lanyah alias mengalir begitu saja. Nggak kalah sama rapat di corporate. Éyang, Bapak, Pak Lik, Pak Dhé, Kamas Utoyo Martosantjoko (5) – ejaan lama ditulis Oetojo Martosantjoko – terlihat bombong, sukur! Mau tahu apa yang terjadi dan dibahas? Kontaklah dengan mereka! Itulah gunanya e-mail dan blog. Aja inyong, wis klêbu tuwa dé takonI baé. Ambêkan baé kudu dé tata, malah dadi gawé. Wis wayahé ngomong, ana sing ngrungokna. Sukur dérungokna.

Sekilas, kata it’s matter of respect mulai terwujud. Gayung bersambut. Lah wong kita semua sudah ngerti, kok. Mung kari nglakoni. Jadi ada rasa ngrêgani, bukan karena tua-muda, lebih dan kurang, jauh dan dekat. Semua terikat secara alamiah pada benang merah yang namanya kekerabatan.

Pancadan
Khusus dalam pertemuan tersebut saya sampaikan suatu kilas balik. Nyaris seluruh warga IKSA yang berada di Jakarta, barangkali tak terjadi sebanyak ini bila bukan karena lantaran Eyang Utoyo Martosantjoko (5). Beliau-lah yang pertama kali melangkahkan kaki ke Jakarta (1962), masuk ke Garuda Indonesia. Sarwoto (7), Turipto (8), Kurniatin (9) dan Siti Rahayu (11) mengenyam pendidikan dan kehidupan di Jakarta karena beliau. Eyang Utoyo menjadi PANCADAN. Akhirnya kita semua menjadi kerabat. Terima kasih Eyang Utoyo!

Secara harfiah, pancadan adalah tempat dan alat berpijak. Kalau kita mau meraih suatu benda yang posisinya di atas kita, dan tidak mampu meraihnya meski sudah berdiri dan menjulurkan lengan setinggi mungkin, masih juga belum berhasil meraih, maka kita gunakan alat atau benda sebagai pijakan. Konteks pemahaman adalah : beliau telah menyediakan diri sebagai pijakan, penopang kehidupan adik-adiknya.

Pengertian pancadan tidak sama dengan lantaran. Pancadan, cenderung pada pengertian ikut bertanggung jawab. Faktor penyangga supaya yang berpijak tidak jatuh, supporting factor. Pancadan berperan aktif. Dalam adab keluarga, hal tersebut merupakan sikap moral. Yang kuat ada kewajiban moral membantu yang lemah, yang tua pengertiannya membantu yang masih kurang memahami suatu pengertian. Tak ada yang ditinggikan dan direndahkan. Tidak harus sama dan sebangun secara kualitatif maupun kuantitatif. Semua terjadi karena sikap moral rasa kasih, wêlas asih (rohim) sebagai anugerah dari Sang Khalik dalam diri kita. Bukan dengan kata : kasihan dalam konteks bahasa Indonesia. Sementara yang lemah atau kurang kuatpun tidak boleh bergantung (nggandhul), karena dapat berdampak menjadi beban. So, what should we do? Mulat salira and doing respect, man!
  • (Dia bertanya) : "Eh, tapi, ada beberapa hal yang saya tidak sependapat, tidak sesuai; bahkan aku kurang suka dengan seseorang meski pernah jadi pancadan bagi aku. Apa juga harus respect? Itu gimana?" – Suka atau tidak suka itu kan ekspresi dari kamu punya mind. Mind erat kaitannya dengan will, keinginan. Sedangkan respect adalah sikap moral. It’s beyond your mind, cah bagus! – Eeh, kalau tidak setuju, ya sudah! Ngapurané, ya!

Semoga apa yang mulai dijalankan (kembali) dapat lancar. Gayung sudah bersambut. Masih banyak yang bisa dilakukan untuk kebaikan bersama. Terima kasih, matur nuwun. - Turipto Ds.