Jumat, 18 September 2009

(Menjelang) BADA

Bada seringkali membawa berbagai rasa bagi kita. Ada yang bersuka cita, suntrut, hingar bingar, sumringah, haru, syukur dan seterusnya. Suasana dan emosi berbaur, menyelimuti gebyar lebaran. Berikut ini, sekelumit kilas balik menjelang hari raya Idul Fitri, dekade 50-60 an di Tinggarwangi, masa-masa Eyang kalian masih sugêng. Apa itu sugêng? Sugêng artinya hidup. Kosa kata tersebut digunakan merujuk pada seseorang secara lebih hormat.

Sebutan bada (ba’da) yang artinya usai. Lêbaran, suasana usai selepas suatu momentum. Wis lêbar, sudah usai. Usai menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan. Banyak sekali ragam tafsir tentang puasa Ramadhan. Saya tidak membicarakan pengertian atas kosa kata termaksud, melainkan ingin menggambarkan secara “feature” suasana pada dekade lampau di desa.

Cobalah simak, dialog imajiner ini : - Kaé ayamé décancang. Têlu-têluné, sing égin déré. Sing blorok tah ora susah, wong lagi ngêndhog . . . Sisan gawé, si Warti déwêling, golihé bruwun sing mandan akèh. Anggêr katoné kurang, ngésuk-ésuk ya mélu bécèr nêng pasar kulon. Aja kawanên! . . . - Karo bibine baé laah! - Aja kaya kuwé . . . Bibiné karo mbêkayumu gênah lagi éwuh gawé kêtan karo ampyang. Malah ana sing jéré kêpéngin njajal gawé lêmpêr. Urung thik-thêk liyané. Lha, ko, anggêr bali ngréwangi nggawa bécèran, nata-nata sing arêp dégawé diyan kurung. - Lha klambiné inyong kapan dadiné? - Ora usah mikir dhingin. Mêngko awan tuli déjujugna. Wong lagi ora wuda ikih . . . (Busyeeet) - Uuh, lah mêngko anggêr ... - Giyèh, aja kaya kuwé! Bada ora kêna bada-budu . . .


Ada beberapa hal, yang dapat ditangkap dari dialog imajiner di atas. Pertama, persiapan menghargai kerabat. Satu dua hari menjelang dina bada (hari lebaran), di kawasan rumah terlihat kesibukan yang lebih dari biasanya. Urusan logistik, konsumsi, baik menu utama sampai snack disiapkan. Bukan pesan dari toko roti Oei, atau membeli di pertokoan maupun pasar di Jatilawang, tetapi membuat sendiri. Tidak heran, kalau young ladies pada masa itu rata-rata mampu membuat traditional snacks. Saat-saat seperti itu merupakan momentum pendidikan kreativitas kuliner. Bagaikan pesta? Tidak juga. Melainkan menyiapkan kepantasan, karena akan banyak kerabat, tetangga serta kenalan yang akan datang. Kita perlu menghargai dan menghormati kehadiran mereka. Etika mengajarkan kita perlu gupuh, lungguh dan suguh kepada tamu. Mereka tidak cukup dengan kata say hello. Mereka doing respect kepada orang tua serta dituakan.

Kedua, menghargai dengan hati lapang. Apakah terpikir: wah kan merepotkan. Menyiapkan, menyambut dan membereskan ini-itu termasuk asah-asah (mencuci piring, gelas, cangkir dan pecah belah lain). Sama sekali tidak. Tidak pernah dan tidak perlu berfikir merepotkan. Siapapun yang datang, tua atau muda, kerabat dekat ataupun jauh, patut disyukuri. Lapangan hati, jernihkan pikiran. Mereka berkenan datang adalah suatu kehormatan. Mereka datang bukan karena ingin dilayani, melainkan karena menghargai, menaruh rasa hormat kepada tuan rumah.

Ketiga, semoga datang terang dihati. Di halaman depan, dipasang beberapa batang bambu ukuran kecil, 3-4 ruas. Ruas paling atas dijadikan pelita. Maka berjajarlah pelita bagaikan prajurit berdiri siaga menyongsong kedatangan tamu dari jalan menuju beranda depan. Halaman samping dan terutama sekitar sumur, juga dipasang beberapa tiang pelita bambu. Biarlah sebagai simbol adanya cahaya terang dalam hati semua penghuni rumah.

Keempat, rasa sukur dan kegembiraan. Di beranda dipasang satu atau dua lampion alias diyan kurung. Sisi samping melingkar tertutup kertas tipis, putih, polos. Bagian bawah ada pelita berbahan bakar minyak goreng, sumbu dari kapas yang dipilin. Menyala stabil, tidak mudah terbakar, tidak berbahaya. Di atas pelita, pada batang bambu vertikal tadi dipasang kincir (kitiran= propeller) dan batang horisontal sebagai pegangan lingkaran bambu pipih. Pada bambu pipih itu, ditempel beberapa potongan kertas yang membentuk gamabr ayam, orang, sapi, trak. Ringkasnya, dari diyan kurung itu akan terliahat gambar siluette yang terlihat berjalan. Menempel potongan gambar harus searah dengan bila propeller kertas di atas pelita. Kalau salah arah, bisa-bisa ayam, bebek, sapi, orang akan berjalan mundur. Semestinya saya juga membuta ilustrasinya. Sayang nggak punya ilustrator, nggak bisa menggambar rinci. Apalagi foto, jelas tidak punya. Intinya: anak-anak akan hepi dengan celoteh komentar atas gambar siluette yang berputar.

Bagaimana dengan baju baru? Itu bagus, kalau ada karena bisa dianggap sebagai sebagai reward. Tidak baru ya tidak apa, asal bersih dan pantas. Secara etika-pun tidak mendukung bahwa harus baju baru. Semangat baru, niat yang lebih baik, perasaan dan pola pikir yang lebih baik, justru lebih perlu.

Sebagian dari kalian, saat tulisan diterbitkan, sudah berada “kampung halaman”, bertemu orangtua dan saudara. Gunakan kesempatan sebagai recharging spiritual value. Bagi yang tidak sempat, apapun alasannya, tetaplah bersyukur, jernihkan pikiran dan hati. Kita jelang hari raya Idul Fitri 1430 H dengan rasa sumarah dan patuh atas segala kehendak-Nya, sembari mohon petunjuk dan tuntunan agar memperoleh bagas waras, cukup, berkah dan slamet. Amin - Tu Ds.

Tidak ada komentar: