Sabtu, 28 November 2009

ANGGODO

Anggodo ? Lho, blog IKSA menulis Anggodo? Kok masuk ke ranah "breaking news"? Eit, ntar dulu. Kalian mengenal dan atau mendengar sebutan anggodo dari mana? Apakah karena mendengar begitu riuhnya berita tentang kpk-polri-kejaksaan-dpr-komisi 8, nimbrung di facebook, atau sumber-sumber lain yang mungkin layak dipercaya?

Bagi, warga IKSA mungkin seluruhnya sama. Bagi kalangan yang relatif tua dan masuk kategori senior citizenship, mungkin ada dua perkara. Pertama perkara yang menjadi berita terkini. Kedua, menyangkut nama yang keren. Kok keren? Sebutan Anggodo mengingatkan pada tokoh dalam dunia wayang yang hebat, ditulis juga Anggada. Huruf a miring (italic) dibaca seperti "o" tapi ringan. Mengingatkan pada Subali, Sugriwa, Anoman, Anila serta entah berapa banyak tokoh serta bala tentara wanara (monyet) lain.

Saya telah menulis dalam Klasifikasi Huruf (Turipto, Jakarta 2007) begini : "Kata-kata lisan menjadi lebih pasti apabila diutarakan dengan meng­guna­kan simbol yang tertulis. Ada satuan simbol yang disebut huruf untuk mewakili suara a, i, u, e, o atau huruf hidup (vowel) dan ada huruf mati seperti k, p, l, m, q, z dan sema­camnya (konsonan). Kumpulan yang merupa­kan kesatuan huruf-huruf menjadi abjad. Abjad (alphabet) Latin berbeda dengan abjad Arab, Jawa, sesuai dengan kebutuhan untuk mewakili masing-masing bahasa dalam penyampai­annya secara tertulis."

Saya ingin sedikiiiit saja nimbrung. Bukan soal yang pertama ataupun yang kedua. Tetapi justru merasa jengah, jika mendengar para pembaca berita di televisi. Karena, untuk yang kesekian kali mereka melafalkan, mengucapkan kata kata anggodo menjadi "anggodho". Perhatikan aksara d (huruf kecil) ataupun D (huruf besar). Maka huruf "d" harus menyerupai sebagaimana digunakan pada kata: ashadu, adzan, the (Inggris), Muhammad, dan semacamnya. Bukan seperti huruf "d" pada kata: pedalaman, dangkal, dahulu dan sejenisnya. Jika memakai aksara Jawa (abjad Jawa) memang sangat jelas desain aksara serta cara mengucapkannya. Itu pula yang menjadi dasar mengapa dalam blog ini dan juga penulisan kosa kata bahasa Jawa dengan aksara Latin, dibedakan antara "d" dengan "dha". Bukankah kita mengerti bahwa aksara, huruf adalah simbol bunyi?



Mengapa kita perlu tahu cara penulisan maupun mengucapkan aksara "d" dalam rangkaian kata? Karena kita sekolah belajar membaca dan menulis, sebagai bagian dari konsepsi cara berfikir dan berbudaya. Kita telah belajar (dan perlu mempraktekkan) cara mengucapkan kosa-kata secara benar. Dalam bahasa apapun, meski antara yang tertulis dan ucapan bisa berbeda sesuai kaidah bahasa yang bersangkutan. Contoh: bank, kita baca bang. Washington, kita baca : woshingten dan semacamnya. Telah kita saksikan, begitu banyak kekeliruan yang dilakukan para pembaca berita, para pembawa acara di televisi khususnya mengenai hal ini. Apalagi yang menyangkut perbedaan cara mengucapkan "e" dalam kata Klaten, Sragen. Huruf "t" dalam pati dan Pati (nama kota yang harus dibaca pathi). mBah Maridjan benar cara menyebut "rosa" yang artinya kuat. Bukan roso dengan "o" ringan yang artinya perasaan. Budaya Banyumas menyebut rasa, persis seperti aksara Jawa.

Apa pentingnya, para pembaca acara, pembaca berita mengucapkan kosa kata dengan benar? Karena cara bertutur mereka dapat menjadi tuntunan dan atau contoh para pemirsa. Kalau mereka rata dapat mengucapkan kosa kata bahasa asing (Inggris, Perancis, dll.) dengan benar, mengapa tidak untuk bahasa Indonesia dan atau bahasa-bahasa yang menjadi khasanah di bumi Nusantara? (Mungkin mereka perlu juga membaca buku Handbook of Broadcasting, karangan Waldo Abbot. Di buku itu ada ulasan yang berkaitan dengan kata-kata asing. He, he. he ....)

Memang banyak saudara-saudara kita, WNI etnis Tionghoa yang memakai nama Indonesia. Biasanya, tidak menghilangkan sama sekali ciri nama keluarga. Kemungkinan besar nama seperti Anggodo, Anggoro itu, mempunyai nama dengan marga Ang. Nama seperti Gautama bia jadi memiliki nama keluarga Gow. Tetap ada kemiripan secara phonetic. Nggak apa. Bagus juga kok!.

Apa kaitan dengan Anggodo? Nama-nama seperti Anggodo dan Anggoro jelas diambil dari kosa kata Jawa, sebagaimana banyak terjadi. Dan itu sah-sah saja. Bagus lagi! Apa saya kenal mereka? Sama sekali tidak. Saya siapa, mereka siapa. Cuma ya itu tadi. Saya jengah dengan seringnya mendengar ucapan yang tidak tepat. Mereka (para pembaca berita) itu kan masuk kategori profesional. O ya, salah seorang warga IKSA ada juga yang memakai nama anggoro, artinya (hari) Selasa, yakni 1.3 Tito Anggoro (Alm). (Insit: 1.3 Tito Anggoro bersama 8.1 Timur Nugroho, Jakarta Jan 1978) Saya buat tulisan ini sekaligus saya ingat dia. He was cute! Berbakat seni. Salam buat Zulaika Tatik dan 1.3.1 Andina Ken Soraya.

Dari uraian di atas, ada yang bisa kita ambil pengertiannya, yakni : ada baiknya kita memahami pentingnya menggunakan istilah dan mengucapkannnya dengan benar, terutama bagi mereka yang berada pada posisi "public speaking". - Tu Ds.

Tidak ada komentar: