
Inset, gambar beliau tatkala menjenguk keluarga Utojo Martosancoko di Jatinegara (Warung Asem) tahun 1968. (Keluarga Sudiwan Atmosumarto, ed. 2, 2003 hal. 43) Maaf saya tidak ingat kapan persisnya. Saya hapal betul, beliau duduk di kursi malas dari rotan. Tidak ketinggalan kinangnya. Beliau mempunyai kebiasaan – sebagaimana orang jamannya - mengunyah sirh (nginang). Campuran antara daun sirih, gambir, buah pinang, kapur dan tembakau. Mereka yang melakukannya, rata giginya sangat kuat. Tidak gampang ompong. Tapi tidak secermerlang di iklan pasta gigi!
. . . Anak pertama, Soediro (1) pada tanggal 29 April 1929. Anak terakhir, Siti Rahayu (11) lahir 23 Desember 1953. Usia 15 tahun simbok sudah menyusui, ngêmban bocah 11 orang! Begitu susul-menyusul dalam rentang waktu hampir 24 tahun.
. . . Ngêmban bocah, (kata kerja) dari kata (ng)êmban yang artinya menyandang beban dengan kain pada sebelah kiri atau kanan, bagian depan badan. Biasanya dilakukan oleh orang perempuan. Kain penyandang dililitkan dan tersangkut pada bahu atau pundhak (bahu) si pembawa. Bocah berarti anak. Jadi, ngêmban bocah berarti : (1) Menyandang atau membawa anak dengan cara di-êmban. (2) Ungkapan ngêmban bocah juga diartikan mempunyai anak. Dengan cara demikian, seorang ibu dapat menyusui seorang bayi atau anak kecil, sekaligus melakukan kegiatan ringan. Kata ngêmban dipakai untuk menunjukkan perlakuan orang tua, khususnya seorang ibu yang melindungi (care and protect) anaknya . . . (Péngêtan, Turipto Danusumarto, Jakarta 2004, hal 3)