Kamis, 11 Juni 2009

Éling Wong Tuwa - seri 3

. . . dalam banyak hal, desa kelahiran tidak hanya dipandang sebagai lokasi, melainkan bagian dari sejarah, kultural dan emosi seseorang . . .

— Orang Jawa kan katanya : mangan ora mangan anggêr kumpul. Itu bagaimana Pa?
— Ya. Ada pendapat demikian, yang diartikan secara harfiah. Enak atau tidak enak, yang penting berkumpul. Barangkali, kalau ungkapan itu diartikan secara harfiah, apakah kita faham dalam konteks apa ungkapan itu terjadi? Sementara jaman berubah, musim berganti. Kumpul di sini seyogyanya diartikan ada kesatuan bentuk sosialisasi untuk mencegah perpecahan. Ungkapan-nya : rukun agawé santosa, jika rukun, bersatu kita menjadi sentosa. Orang Jawa itu sebenarnya memiliki kemampuan adaptasi yang lentur. Tidak gétas. Gétas artinya mudah putus atau mudah patah.

. . . Tidak ada bukti tertulis, mengapa diberi nama Tinggarwangi. Sêsêpuh yang saya kenal, pernah mengatakan bahwa yang tepat adalah Sanggarwangi. Sementara beberapa orang tua di Tinggarwangi mengatakan Glagahwangi. Glagahwangi, Tinggarwangi ataukah Sanggarwangi? Nama yang manapun, secara lokasi merujuk pada desa yang sama.

. . . Jaman dulu, tidak aneh jika menyebut suatu desa atau daerah lebih mudah mengingat tokoh panutannya. Bila demikian bisa muncul sebutan : pa + Ganta + an. Artinya merujuk pada suatu wilayah dimana Éyang Ganta bermukim. Selanjutnya, karena langgam bahasa dan keluwesan bahasa tutur Jawa, menjadi Pagêntan. Apakah ada bukti tertulis? O, Allah, jangankan bukti tertulis. Wong masyarakat jaman itu termasuk budaya tutur.

. . . dikenal sebagai Karang Dhuwur. Lokasinya memang relatif tinggi, wéra (lega) dan kesan sangat egaliter (me-rakyat)

Mengingat efisiensi ruang dan kapasita blog, hanya muat utipan-kutipan tersebut di atas diambil dari ÉlingWong Tuwa - seri 3 – SANGGARWANGI. viii + 46 halaman A5. Soft copy format Acrobat PDF bagi warga IKSA, hubungi e-mail : turipto@gmail.com

Tidak ada komentar: