Minggu, 10 Januari 2010

BRUDERAN (2) - Bruder Aëtius

Doeloe, kalau orang bilang: SMA bagian apa? Saya jawab : bagian A (bahasa dan budaya)! Ada seraut wajah reaksi yang tidak mantep. Lain lagi kalau disebut bagian B (pasti alam), maka senyum segera tersungging. Mungkin juga ditambah sedikit anggukan. Sekarang pembagian A, B dan C tidak berlaku lagi. Sebutan SMA pun tidak lagi dipakai; yang ada SMU (Sekolah Menengah Umum). Apa ada yang tidak umum? Doeloe juga, kalau teman dan saudara saya bilang: dimana? Bruderan. Maka leher mereka sedikit naik: O ya? Ada gesture yang berbeda!

Di SMP saya masuk di bagian A, jadi kalau masuk SMA ke bagian A, ya sudah sewajarnya. Anehnya, begitu kerja, banyak masalah teknologi komunikasi. Teman-teman mengatakan : kaya nggo jambalan. Artikan kata jambalan sebagai mana digunakan oleh saudara-saudara kita dari daerah Banyumas. Sampai-sampai sahabat saya Hiromasa Akimoto, dan Nakamura dari Sony Corp. Jepang dalam kebersamaan kegiatan pernah nyeletuk: Turipto-san, are you engineer? Wélèh, wélèh, insinyur apaan. Wong nggulung coaxial cable, baé ndêlêngna koh, karo takon : dénèng kudu kaya kuwé? Dadi, ora asal nggulung yaa ... Aplikasi teknis, sistem konfigurasi dan sejenisnya dimengerti karena bahasa yang dasarnya diperoleh dari bruder Jos, bruder Aëtius, Miss Tjoa, dan pengajar lain di Bruderan. (Ora tau nduwé dhuwit nggo kursus ini itu).

Ada iklan mengatakan: kesan pertama begitu menggoda! (cerdas juga tuh, copy writer-nya) Tapi kosa kata menggoda itu, dalam konteks tulisan ini, mempunyai terminologi yang sangat beda! Begitulah, tatkala muncul bruder Aëtius mengajar sejarah kebudayaan. Gendut, botak, berjubah klèmbrèh-klèmbrèh (tentu saja). Kalau bicara lidah Belanda-nya masih ada. Menyebut kata “perempuan” terdengar seperti prempwan. Jam datang mengajar dan selesai selalu pas. Begitu selesai, langsung hilang dari pandangan (ke asrama). Tiada waktu sekejappun untuk ber-sosialisasi. Efisien ngudubillah.

Beliau juga mengajar bahasa Jerman. Saat ada pilihan, ambil bahasa Jerman, atau bahasa Kawi (Jawa Kuno). Saya ambil bahasa Kawi. Kayak apa sih, bahasa Jawa tempo doeloe banget.: Hana ta ya pas munggwing talaga Kumudawati ... Cara mengucapkan sama seperti kalau berada di Tinggarwangi. Lha kalau ambil juga bahasa Jerman, padahal bahasa Inggris sabên dina, ana sing rong jam pelajaran sêdinané, durung Perancis. Kêtambahan PR ora tau lat. Bisa mblêngêr, ra! Mèn ora sabên dina kêtêmu bruder Aëtius. Sêrêm.

Bertahun-tahun kemudian di bangku kuliah, saya menyadari betul, materi pelajaran dan cara mengajar Bruder Aëtius jauh lebih cerdas dibandingkan kebanyakan dosen, yang saya alami. (Maaf bila ada yang kurang berkenan dengan ungkapan saya. Ini bukan pêngalêmbana.) Beliau telah mengajak kita berfikir dan menganalisa secara mondial. Lintas agama, budaya dan lintas bangsa serta negara. Selalu ada cara untuk memahami berdasar etimologi dan kultur materi. Hebat beliau, itu!

Menyanyi yang harus keluar adalah suara sesuai nada. Bukan teriakan. Busungkan dada sehingga udara penuh. Im pompé pudêné pudênas ka im pompé ... Atau lagukan kyrié élison dengan perasaan seperti angin mengikuti irama gundukan dan lembah padang pasir ... Suatu saat, beliau menginginkan tiga anak yang mau ikut pelatihan khusus main biola. Hampir semua murid sekelas rame-rame menunjukkan jari. Saya spontan aja ikut ngacung! Beliau menunjuk tiga orang. Saya, Sunaryo (Kober) dan seorang lagi. Tiga biola diberikan sebagai pinjaman. Juga dipinjami buku-buku partitur. Boleh bawa pulang. Wèèh tambah ketemu lagi dan ber-sosialisasi sama Bruder Aëtius. Èh, enjoy juga, kok! Latihan seminggu sekali, tiap Selasa sore, di ruang kelas SMP Bruderan. Dari beliau pula tumbuh kecintaan pada musik, dan rasa menghargai kultur suatu bangsa. Saya mengenal world famous song. Sancta Lucia, Ave Maria (Gounod, Schubert, Brahms) So deep is the night-nya Chopin, dan seterusnya, dan seterusnya. Beliau enak saja memberikan pelajaran meloncat dari sisi musik, bahasa, kultur, sampai etika atas dasar Budhisme, Hindu, Islam, Yunani, Romawi dan tentu saja Kristiani.


Seakan tak ada habisnya, jika ingat beliau dan apa yang telah diluberkan pada saya. (In set: Tanda tangan beliau selaku wali kelas.) Hebatnya: beliau tidak pernah menanyakan apakah saya termasuk warga Gereja? Kini, dari blog Bruderan_Purwokerto (Terimakasih dan salam buat pengelola blog.) saya baca beliau kembali ke Nederland (1963, setahun setelah saya tamat SMA) karena kesehatannya sampai tutup usia. Requiescat in Pace. Bruder Aëtius telah memberikan banyak inspirasi, pengetahuan dan pemahaman banyak hal. Matur nuwun. Kula namung ndérèk memuji, mugi pikantuka nugrahaning Gusti Ingkang Maha Asih, saha palênggahan ingkang ayom lan ayêm. Amin. - Tu Ds.

Tidak ada komentar: