Kamis, 14 Januari 2010

PERSEPSI VISUAL (3) - Klasifikasi Visual

Jika diamati, ada empat klasifikasi visual yakni: (1) wujud nyata, (2) wujud setengah nyata, (3) gambar yang nyata, dan (4) gambar simbol. Dari empat klasifikasi termaksud, baik sendiri-sendiri maupun gabungan, sangat membantu proses pembelajaran. Istilah pembelajaran disini, tidak hanya mengacu pada proses belajar mengajar di sekolah, tetapi tiap upaya seseorang untuk memahami sesuatu dari luar dirinya.

1. Wujud nyata
Kita dapat mengamati dan mengenali sesuatu karena melihat wujud nyata (actual reality). Dapat diamati dan dapat disentuh. Pada wujud yang nyata, sese­orang dapat mengamati dimen­si, ukuran, warna, teksture serta kepadatan. De­ngan mengamati secara visual, pengertian dapat bertambah pada sesuatu yang berkaitan dengan benda termaksud; misalnya rasa (taste) dan bau (smell).

Para orang tua mengajarkan banyak hal kepada anak-anaknya dengan memperkenalkan sesuatu secara nyata. Benda-benda yang nyata dalam keseharian dikenalkan dan diamati. Pengenalan, contoh kegiatan yang nyata disertai petunjuk. Sing arané dhingklik, kuwé nggo njagong. Ora nggo thingkrang. Sikilmu aja déuanggahna nêng méja. Penjelasan maupun perintah lisan dilakukan untuk mengkontrol proses penalaran.


Tahun 50-an anak-anak Tinggarwangi faham betul apa itu gêndhèng krêpus, bêntèran, kréwèng dan plasi. Bisa dilihat wujud nyata. Penjelasan verbal menjadi pendukung dan atau melengkapi informasi tentang fungsi masing-masing benda. Bahkan bisa memberikan penjelasan kaitan benda tersebut dengan gagasan tertentu, misalnya tentang kapan, dimana dan bagaimana, untuk apa, berapa dan seterusnya. Apa yang dilihat semakin banyak. Semakin banyak pula perbendaharaan dalam ingatan.

Masalahnya, kita ingin tahu tentang banyak hal, meski nyata adanya, tetapi tidak dapat dilihat secara langsung; misalnya pada benda yang berada di luar jarak pandang, baik karena berbeda tempat dan waktu, juga berbeda dimensi karena abstrak.

2. Wujud setengah nyata (pseudo realism)
Di Jakarta ada Monumen Nasional. Di bagian bawah ada diorama, yakni suatu bentuk miniatur kejadian dan pelaku-pelakunya. Kita tidak bisa memboyong monumen Nasional ke Tinggarwangi. Juga tidak bisa memboyong candi Borobudur ke negara asing. Yang mungkin dilakukan adalah membawa model dalam skala yang lebih kecil. Saking kecilnya, sering kali kita jumpai miniatur suatu land mark sebagai gantungan kunci.

Sementara itu, pada pameran otomotif, ataupun pameran bangunan, kadang-kadang dijumpai mock up, yakni suatu model yang memperlihatkan bagian dalam ataupun komponen keseluruhannya. Misalnya model mesin pompa air tenaga listrik, dibuat dengan bahan transparan untuk memperlihatkan komponen hisap (suction), motor, serta komponen pembuang (discharge) yang terlihat jelas. Mock up mempunyai skala 1:1 alias sama besar dengan barang aslinya. Sedangkan model, bisa jadi skalanya lebih kecil. Merupakan miniatur. Misalnya model pesawat terbang, kapal, kereta api dan benda lain yang berbeda dimensi dan lokasinya adalah contoh pseudo realism. Konkrit, tetapi tidak dalam ukuran yang sebenarnya.

Sekolah Rakyat di Tinggarwangi waktu itu hanya sampai kelas 3. Ada pelajaran pekerjaan tangan, dengan tugas: membuat patung dari tanah liat. Ini adalah assignment yang menyenangkan, dan mengingatkan saya pada teman lama. Dan jika berjumpa di Tinggarwangi, sudah pada tua-tua, seperti saya juga! Meski waktu itu tidak disebutkan membuat model, tetapi dasarnya adalah suatu bentuk yang nyata dengan ukuran yang lebih kecil.

Saya tidak ingat persis kelas berapa dan nama mata pelajarannya. Tiap murid membuat patung binatang dari tanah liat. Rata-rata cukup bagus dan halus. Berbagai model dapat dibuat. Sapi dan kuda paling dominan. Beberapa membuat model ayam. Mereka sudah mampu mengekpresikan pemahaman anatomis dengan baik. Model sapi dan kuda sangat proposional. Artinya, perbandingan antara kepala, badan dan kaki sangat sepadan. engapa sebagian besar patung sapi dan kuda? Karena referensi pengalaman dalam kesehariannya adalah melihat dan mengamati sapi dan kuda.

Mereka membuat perbandingan yang rasional antara induk dan anaknya. Mana sapi dewasa dan mana pêdhèt. Kuda dan bêlo-nya. Ya, masuk akal kalau mereka tidak membuat patung kanguru ataupun onta, apalagi beruang. Lah, wujudé baé urung tau wêruh. Saya? Ah, yang mudah saja. Bikin asbak! Tanah liat yang lentur, pekat dan halus. Cukup tersedia tanah liat yang sudah dégêjrot sebagai bahan pembuat genting yang siap dibentuk. Gari njaluk maring Kang Wangsa. “Ngonoh, njiot baé ngganggo pêrèt! Aja kêtipisên, dadi olih sing égin lêmês!”.

Agar ada kesan seperti dibakar, setelah dijemur, lélèti dengan getah pohon Angsana yang tumbuh dekat langgarnya kaki Mirkasan. Coklat tua dan mengkilat. Jemur lagi, kering dan bisa déagêm Bapak. Teman-teman membuat obyek pseudo, saya membuat yang reality.

3. Gambar nyata (pictorial realism)
Jika kita kebetulan melihat lukisan pertarungan banteng dan harimau karya Raden Saleh, atau lukisan Perjamuan Terakhir karya Leonardo da Vinci di museum, rasanya melihat sesuatu yang nyata. Sementara, begitu banyak karya pelukis dengan kehalusan yang prima disertai warna yang alami. Karya-karya termaksud dibuat dengan talenta dan keahlian merekam dengan indra dan imajinasinya, kemudian tertuang dalam kanvas. Pada saatnya, hanya para pelukis tertentu yang mampu membuat gambar yang sangat mendekati keadaan senyatanya.


Cetakan reproduksi lukisan karya Antoine Jean Baron Gross (1771-1835) 42 x 64 cm, yang berjudul Napoléon sur le Champ de Batialle d’Eylau (Pertempuran di Eylau). Lukisan asli berukuran 533 x 800 cm yang saat ini masih tersimpan di Musée du Louvre, Paris. Berbagai repoduksi lukisan terkenal memang dijual sebagai souvenir bagi pengunjung museum Louvre. Waktu itu, saya mau beli reproduksi Monalisa, tapi persediaan lagi kosong. Beli ini saja. Enteng kok, cuma digulung, masukkan ke dalam selongsong yang memang disediakan. Lumayan, buat hiasan dinding di rumah.

Kita sadar, bahwa relatif tidak mungkin memenuhi berbagai keinginan dengan cara melihat sendiri suatu wujud senyatanya. Kita tidak dapat melihat saudara kita yang berada di kota lain, bahkan sudah di alam lain. Tidak bisa melihat pura Uluwatu di Bali, Notre Dame dan Eiffel di Paris, bila kita tengah berada di Jatilawang. Kita bisa melihat semua itu, bila ada deskripsi visual yang kita sebut sebagai gambar.

Sejak beberapa dekade, foto punya peranan sebagai wujud visual yang masuk kategori gambar nyata atau pictorial realism. Bagaimana citra dua dimensi yang terbentuk dengan bantuan cahaya, optikal, kimiawi dan mekanikal. Perkembangan bidang elektrikal dan elektronikal semakin memenuhi gagasan untuk melakukan ekplorasi lebih jauh bagi pengambilan gambar, proses pembuatan, penyimpanan dan penyajian gambar nyata. Oleh karena itu, dalam pembahasan ini, tidak membedakan proses pembuatannya, apakah secara analog ataukah elektronik. Karena pada hasil akhir, semua dapat dikonversi menjadi data elektronik maupun data analog.

Kita coba lepaskan dahulu perihal proses, sarana, media penyimpan maupun penyajiannya, karena hal-hal tersebut menyangkut perangkat keras. Tulisan ini, mengutamakan tentang isi ataupun materi. Sementara itu, apapun perangkat dan teknik yang digunakan, terdapat kesamaan hasil citra yang terlihat, dalam hal ini sebagai gambar nyata.

Perbedaan atas dasar teknologi rekam dan media penyimpan serta penyajinya, memungkin kita mengenal berbagai sebutan. Ada foto, slide, film, video, gambar digital yang tersimpan pada media magnetik maupun digital seperti halnya cakram berisi program film. Disajikan dengan cara langsung, proyeksi pada monitor maupun layar maupun cara transmisi. Semuanya mempunyai prinsip isi yang sama, yakni gambar nyata, dan dapat kita buat klasifikasi aspek sebagai berikut :

1. Rasa ingin tahu adalah alami. Sama alaminya keinginan untuk menyampaikan yang diketahuinya itu kepada orang lain. Upaya orang untuk menangkap pengertian dan menyampaikan kepada orang lain dengan bahasa visual, telah menjadi bagian dari arus informasi. Sebagaimana simbol-simbol visual lain, foto mempunyai nilai berita. Pemilihan gambar bukan karena nilai artistik.

2. Aspek dokumentasi yang autentik. Pencitraan nyata, apa adanya. Tentu saja, memungkinkan modifikasi teknis dalam sisi pencahayaan, optis, kimiawi maupun secara digital. Dengan foto kita mendapatkan rekaman visual tentang sesuatu dan keadaan tertentu. Rekaman dalam bentuk gambar ini bisa dilihat di tempat dan waktu yang berbeda, oleh diri sendiri sendiri maupun orang lain. Pengertiannya: mempunyai nilai dokumentasi yang bisa melintasi ruang dan waktu. Sering ada istilah “diabadikan” yang berarti membuat foto sebagai dokumen agar dapat dilihat secara visual keadaan saat peristiwa berlangsung dan – yang lebih penting lagi – masih dapat dilihat pada masa mendatang.

14 orang tewas akibat insiden kecelakaan kereta api di Grobogan. Nilai berita menjadi lebih penting, bukan indahnya gambar. (Repro: Kompas)

3. Seringkali, penyajian foto tidak berdiri sendiri, melainkan sudah bergabung dengan media lain seperti surat kabar, majalah, poster, buku dan media cetak lain, termasuk media elektronik. Fotografi tetap merupakan prinsip dasar pengambilan gambar. Perbedaan terletak pada teknologi perekaman dan sistem penyajiannya, tetapi materinya banyak yang berasal dari prinsip gambar nyata yang data visual, artinya merupakan bagian dari keseluruhan penyajian.

4. Sebagai suatu karya teknik, tentu saja foto merupakan saran ekspresi visual, hiburan, seni, profesi, bahkan kegiatan bisnis.


Tari Barong (Bali 1996). Peran Sahadewa di bawah pohon, pojok kiri bawah perlu masuk menjadi satu frame, karena menjaga visualisasi blocking.

Sampai ditemukan gambar hidup, maka dikenal dua istilah pembeda, yakni : gambar tetap (still photo) dan gambar hidup (movie). Apakah gambar bisa hidup? Tentu tidak. Gambar tunggal yang disorot susul-menyusul, tanpa jeda menjadi terlihat bergerak atau hidup, terjadi karena persepsi kita lewat indra penglihat. Di bioskop maupun di televisi mempunyai prinsip penyajian visual tanpa jeda.

Teknik fotografi melahirkan berbagai istilah yang kita kenal. Potret (portrait), slide, film, transparansi dan berbagai istilah lain yang berkaitan dengan adanya proses perekaman gambar atas bantuan cahaya melalui proses kimiawi. Dengan sarana mekanik, elektrik maupun optik, muncul istilah bioskop atau gambar hidup. Gambar yang dihasilkan karena proses foto tidak diam alias mandêg, tetapi menjadi terlihat bergerak. Sinkronisasi dengan dengan jalur suara (sound track) pada bagian tepi pita seluloid film, menghasilkan pertunjukan bioskop bersuara.

Gambar yang diam saja sudah cukup impresif, karena menunjukkan detail yang seringkali membutuhkan pengamatan. Dapat memukau perhatian kita untuk lebih memahami suatu fenomena yang nyata. Faktor gerak dan warna dengan dukungan suara, ditambah dramatisasi pesan semakin membanjiri saluran persepsi kita. Mungkin hal ini dapat dibuat tulisan tersendiri. Biarpun sekarang jaman digital, namun secara hakekatnya masih menarik untuk dijadikan dasar pemahaman.


Sekali-kali, gambar keluarga kan boleh nampang dong? Repro foto jadul, jamané lagi blajar motrèt, nyuci lan afdruk dhéwèk.Yang dulu digendong sekarang sudah njogrog. (foto tahun 1972)

Tatkala teknik pemotretan dikenal, dipelajari dan dieksploitasi, terjadilah semacam revolusi “berbicara dengan bahasa visual”. Begitu hebat dampak penemuan Lumière bersaudara, yang menemukan teknik fotografi. Secara harafiah, fotografi berarti menulis dan atau menggambar dengan cahaya. Karena dengan bantuan cahaya, maka apapun yang dapat memantulkan cahaya tertangkap oleh dan lewat lensa, terekam pada lembaran peka cahaya yang disebut film. Film yang telah terkena cahaya tadi, diproses secara kimiawi sehingga diperoleh citra yang sangat nyata dan rinci.

Dari gambar-gambar yang masuk kategori nyata seperti foto itulah, sangat terbuka kemungkinan penyampaian dengan cara-cara lain. Dimuat dalam surat kabar, majalah, buku, selebaran dan media lain. Dalam uraian risalah ini selanjutnya, kita akan semakin mengerti bahwa peranan foto sebagai data visual, menjadi sangat penting.

4. Gambar simbol atau pictorial symbolism
Setiap hari, kita praktis tidak pernah lepas dari simbol. Suatu gambar dengan desain tertentu yang dapat menuntun pengertian kita kepada suatu pemahaman, lembaga, gagasan, perwujudan maupun peristiwa. Selalu berhubungan dengan sesuatu bentuk yang disepakati untuk dapat mewakili suatu pengertian, keadaan serta nilai. Orang membutuhkan simbol untuk memahami suatu pengertian. Didalamnya ada nilai kesepakatan. Dalam uraian ini, kita mengambil suatu bentuk yang mempunyai dan atau mewakili makna tertentu.

Tiap negara mempunyai lambang yang dijadikan simbol negara. Juga badan internasional, usaha, yayasan dan lembaga umumnya mempunyai simbol yang mencerminkan visi dan misinya.

Garuda Pancasila, secara fisik adalah gambar atau desain. Garuda Pancasila juga lambang negara, simbol negara kesatuan Republik Indonesia, atas dasar Peraturan Pemerintah No.66 tahun 1951 tertanggal 17 Oktober 1951 dan dimuat dalam Lembaran Negara RI No.111 tahun 1951.

Tentu saja, simbol dalam arti yang luas, tidak cuma gambar atau bentuk desain tertentu. Simbol bisa juga suatu sikap, keadaan, gagasan bahkan hal-hal yang sifatnya abstrak, yang dapat menuntun seseorang pada pengertian tertentu. Bung Karno, sering juga disebut sebagai simbolnya pemersatu bangsa. Demikian juga ribuan bahkan jutaan orang yang meyakini bahwa suatu mimpi, penglihatan spriritual (yang berari non-visual atau abstrak) menjadi simbol pengertian tertentu bagi yang mengalaminya.

Kita sering melihat rambu-rambu lalu lintas. Warna merah pada lampu lalu-lintas, berarti berhenti; hijau berarti jalan; kuning berarti siaga. Rambu-rambu lalu lintas baik yang bersifat larangan, peringatan maupun anjuran, dibuat secara simbol yang mudah dilihat sekilas pada waktu siang maupun malam hari. Dikatakan rambu-rambu, karena mengandung pengertian ada batasan yang harus ditaati. Rambu-rambu itu sendiri berupa simbol-simbol yang masing-masing berbeda bentuk dan warnanya. Rambu yang bersifat larangan, selain bentuk tertentu juga disertai warna merah. Tanda peringatan, disertai warna kuning sedangkan tanda yang bersifat petunjuk cenderung memakai warna biru atau hijau tua.
Skema, diagram termasuk jenis gambar simbol. Gambar jenis ini, dapat lebih menunjukkan bagian secara rinci yang menuntun pada suatu pengertian. Lihat ilustrasi pemasangan catridge toner pada pencetak laser HP 5000 N. Petunjuk menjaga kerataan tinta bubuk.

Melewati uraian tentang klasifikasi visual di atas, kiranya bisa difahami bahwa menyampaikan pengertian secara visual memberikan kelebihan tersndiri, yakni:

  1. Membantu penjelasan verbal. Sarana visual lebih menarik perhatian, dapat membangkitkan minat terhadap pokok pembicaraan.
  2. Menambah daya ingat. Rangsangan atau stimuli visual dalam banyak hal bertahan lama dibandingkan dengan keterangan yang bersifat verbal.
  3. Menepis penafsiran yang beda. Membantu gambaran urutan kerja dan fungsi sehingga menghindari penafsiran yang berbeda. Lihat ilustrasi di bawah ini.
Pada kenyataan sehari-hari, kita mendapatkan informasi karena melihat. Berarti memperoleh kesan karena sesuatu yang visual. Kesan termaksud menuntun kita untuk mengerti dan atau melakukan sesuatu. Kenyataannya, sesuatu yang kita lihat, tidak cuma satu dari empat klasifikasi di atas. Seringkali lebih dari satu klasifikasi bergabung dan atau menjadi satu kesatuan. Di surat kabar misalnya, selain ada foto (pictorial realism), juga ada info grafis, (pictorial symbolism), dan huruf-huruf itu sendiri pada dasarnya juga simbol. Surat kabar itu sendiri adalah sesuatu yang nyata (actual reality).

VISUAL GRAFIS
Uraian sekilas tentang verbal dan visual di atas, hanyalah introduksi, bahwa hampir setiap hari kita mendapatkan pengertian atas dasar persepsi visual. Persepsi yang bisa membangkitkan imajinasi, menambah pengetahuan, pengertian bahkan pemahaman tentang sesuatu hal. Hampir setiap hari kita mempunyai kepentingan pada sesuatu yang kita lihat. Kita mempunyai kepentingan untuk mengerti dan memahami sesuatu yang sifatnya visual. Apakah sesuatu yang nyata atau yang sifatnya simbol. Kita menggunakan simbol, karena begitu banyak pengertian yang tidak dapat diserap secara bentuk dan kejadian nyata.

Dalam hitungan jam, hari, bulan, tahun bahkan puluhan tahun kita “bergaul” dengan visual grafis. Apakah itu gambar, tulisan, atau simbol-simbol. Secara umum, kita melihat dan mengerti nilai mata uang bukan karena tekstur dan tebal tipisnya lembaran, tetapi karena tulisan, angka, desain dan warna. Mata uang itu sendiri menjadi simbol nilai tukar. Huruf, angka dan desain, juga simbol. Dikatakan simbol, karena mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dibandingkan dengan wujudnya. Kalau nilainya kecil, dapat ditukar dengan pêcêl sêtakir. Tapi, kalau banyaaak, bisa ditukar montor mabur.

Mengerti tentang visual grafis secara sebagian sekalipun, besar manfaatnya. Contoh yang paling sederhana adalah jika kita belajar membaca dan menulis. Aksara apa saja. Terutama aksara yang banyak digunakan sebagai simbol komunikasi bagi kita, atau karena alasan tertentu sangat kita perlukan. Menjadi hal yang wajar seseorang mengerti dua, tiga atau lebih aksara. Pada tulisan selanjutnya, akan kita coba melihat lebih jauh tentang aksara.

1. Visual grafis sebagai tujuan
Kita mempunyai pengertian, gagasan atau ide, yang karena suatu kepentingan perlu disampaikan kepada pihak lain. Karena pengertian dan gagasan itu sesuatu yang abstrak, seringkali tidak mudah dimengerti. Untuk mempermudah persepsi yang bertujan kesamaan faham, maka perlu formulasi atas dasar konsep ke dalam bentuk yang lebih realistis, lebih mudah difahami, dengan cara memanfaatkan potensi persepsi visual seseorang. Kaidah-kaidah grafis menjadi perhatian untuk mencapaia dua hal. Pertama, mewujudkan visi dan misi gagasan. Kedua, persepsi maksimal atas desain maupun isinya.

2. Visual grafis sebagai sarana
Mobilitas penduduk, perkembangan pola pikir dan pengetahuan membutuhkan sarana komunikasi yang memadai. Dalam banyak hal penyampaian secara verbal tidak cukup. Perlu sarana bantu sebagai media. Perbedaan gagasan dan tujuan komunikasi, memerlukan pemilihan media. Media grafis dari masa ke masa dapat menjadi sarananya sendiri maupun terintegrasi dengan media lain.

3. Visual grafis sebagai profesi
Mereka yang bergerak dalam bidang penerbitan, media, periklanan, pemotretan, perancang grafis dan sejenisnya adalah contoh bidang pekerjaan yang membutuhkan keahlian dengan memahami komunikasi visual. Orang-orang yang mampu mengolah gagasan ke dalam bentuk visual grafis.

Diantara begitu banyak kemungkinan. Bagaimana dengan visual grafis dalam bidang tata letak penerbitan. Seandainya ada response yang masuk dalam kolom “Pendapat dan Saran” di pojok kanan atas blog, akan lebih baik. Anggêr amlêng, ya sagêlêmé inyong. Muga-muga baé ana wêktu nggo nulis ya? Salam - Tu Ds.

Tidak ada komentar: