Rabu, 13 Januari 2010

PERSEPSI VISUAL (2) - Verbal dan Audio

Pada Persepsi Visual bagian 1, saya mengambil contoh ceritera tentang becak, yang diucapkan secara lisan atau verbal. Relatif, setiap hari kita berbicara pa­da orang lain dengan ungkapan-ungkapan verbal. Ungkapan yang verbal, terucapkan seba­gai sim­bol bunyi yang sifatnya terdengar atau audible dan tertang­kap dengan indra pendengar. Orang yang tuna wicara juga “berbicara” pada orang lain; bukan verbal melainkan dengan bahasa isyarat ragawi atau gesture, atau simbol-simbol yang dimengerti pihak yang diajak berkomunikasi. Misalnya dengan tulisan. (Jika ada waktu, saya ingin berbagi pula tentang aksara sebagai simbol bunyi, desain aksara, tipografi dan beberapa pengalaman terkait. Dongakna ya, inyong tansah pinaringan waras. Mèn bisa berbagi dongèng.) Kembali tentang si tuna wicara. Tidak mustahil, dalam benak yang bersangkutan (si tuna wicara itu) sudah tersusun informasi yang tertata. Namun keluarnya dalam “ucapan” hanya hah, hih. huh yang tidak difahami lawan bicaranya. Ada perbedaan referensi, sehingga sering tidak nyambung secara utuh.

Meskipun suatu pesan verbal, dalam hal ini bila kita melakukan pembicaraan dengan seseorang, maka akan terdengar keras dan lembutnya suara, jelas atau nggranyêm, tekanan pada kata tertentu ataukah datar. Terlihat juga siapa yang berbicara, dan roman mukanya. Berarti ada gabungan verbal dan visual. Intinya, ada simbol-simbol yang mem­beri watak dalam proses komunikasi.

Dewasa ini semakin banyak para pengajar dan pelatih yang menggunakan sarana bantu audio maupun visual untuk mendu­kung proses belajar mengajar. Dalam pelajaran bahasa, dimana pe­ma­haman menyangkut mendengar, meng­ucap­kan, membaca dan menulis, membutuhkan ukuran baku sesuai bidang pelajarannya.

Secara umum – bila mata kita sehat, tidak buta warna dan tidak menderita rabun dekat maupun rabun jauh – mempunyai kemungkinan melihat suatu obyek dalam jarak pandang terbatas. Baru kemungkinan, karena perlu syarat yang mutlak harus ada, yakni cahaya. Cahaya disini diartikan tidak cuma karena ter­sorot sinar, tetapi menda­pat suasana padhang alias luminance. Cahaya menerangi sesuatu benda ataupun keadaan, dan pantulan­nya akan tertangkap pandangan mata lewat lensa dan jatuh pada retina yang tersam­bung pada syaraf penglihat. Lensa mata yang elastis mengatur jatuhnya titik pandang pada retina, dan difragma atau rana akan mengatur intensi­tas cahaya yang masuk.

Kita tentu sudah sangat faham, bahwa sesuatu obyek terlihat tergantung dua hal.
Pertama, obyek terkena cahaya. Sebagian cahaya terserap, sebagian lagi terpantul dan ter­tang­kap penglihatan mata baik intensitas maupun spektrum warnanya. Secara sederhana, kita tidak akan melihat se­suatu benda, kalau tidak ada cahaya yang me­nge­nai benda tersebut dan memantul ke mata kita. Obyek semakin kabur dari penglihatan, selain karena terbatasnya kemampuan mata menangkap pantulan dari obyeknya, juga karena tingkat intensitas cahaya yang terpantul dari benda tersebut.

Kedua, semakin jauh akan terlihat semakin kecil, karena bidang pandang mempunyai sudut lebar tertentu. Rata-rata efektif tanpa distorsi, berada dalam sudut pandang adalah 46°. Semakin jauh sesuatu obyek, maka semakin kecil dibanding­kan ruang pada sudut pandang 46°, sehingga terlihat semakin kecil. Dimensi yang sebe­narnya dengan yang terlihat menjadi berbeda karena jarak pan­dang; semakin jauh, sesuatu menjadi terlihat semakin kecil. Kelem­butan atau detail-nya pun semakin kabur. Makanya gunung ter­lihat elok dari jauh, purnama sidhi begitu meng­agumkan!

Sebuah publikasi pendidikan (American School Board Journal, Darby W.G.) menyebutkan bahwa gambar dan atau huruf di papan tulis, akan ter­li­hat sebesar 1/20 dari ukuran semestinya, bila dilihat dari bagian bela­kang kelas atau dari jarak sekitar 8 m. Rupanya tidak keliru, saat pertama kali mau masuk sekolah tahun 1950, kakak saya menyu­ruh saya untuk duduk di bang­ku deretan depan bagian tengah. Kiranya punya tiga pertim­bangan; (1) lebih fokus menyi­mak, (2) jarak pandang ke papan tulis, dan tentu saja (3) karena postur tubuh saya rada imut-imut.

Terang benderang dan pantulan yang kuat men­ja­dikan mata kita nyurêng menyesuaikan. Papan tulis berwarna hitam dan atau hijau gelap de­ngan permukaan rata tetapi tidak mengkilat sangat membantu mencapai tingkat kontras tulisan, perhatian bisa lebih fokus, dan tidak silau. Beda sekali dengan bila menggunakan white board yang glossy yang cenderung mele­lahkan mata. Cat tembok putih mêmplak (bright white) memang lebih membawa suasana terang karena intensitas pantulan cahaya lebih banyak, sehingga banyak orang menggunakan cat tem­bok yang lebih lembut. Tidak mengherankan bila para perancang penerbitan cenderung me­milih kertas yang tidak putih mêmplak; juga bukan kertas berlapis yang mengkilat (coated). Teruta­ma untuk buku teks dan penerbitan untuk kon­sumsi anak-anak.

Biarkan lampu ruangan menyala pada posisi dimana kita menonton acara tayangan pada layar kaca. Penonton televisi seyogyanya berada pada posisi 5 kali ukuran diagonal layar. Jadi, jika layar kaca berukuran 21 inchi, maka 21 x 5 = 53.5 inci = 266.7 cm. Dimudahkan, 2,5 meter. Usahakan letak televisi pada ketinggian yang sejajar dengan titik pandang.
 
Kita termasuk memiliki indra pengli­hatan dan pendengaran yang lengkap, maka kita dapat me­nang­kap simbol atau tanda-tanda yang ter­lihat maupun yang terdengar. Sementara itu, dalam pengertian yang lebih luas, selain kita mendengar penyampaian informasi lisan, kita juga mendengar informasi yang sifatnya terde­ngar tetapi bukan melalui pembicaraan. Infor­masi yang terdengar misalnya: bunyi suara adzan, siaran radio, siaran televisi, pertunjukan bioskop, bunyi klakson mobil dan seterusnya. Terdengar dan mengandung suatu pesan yang dapat dimengerti oleh orang lain.

Jika kita menonton bioskop, tayangan televisi, pertunjukan wayang; ber­arti kita menangkap pesan yang visual karena terlihat sekaligus pesan audio karena terdengar. Dengan kata lain, kita dékrubut dari dua saluran yaitu indra peng­lihat dan indra pendengar. Diharapkan semakin ba­nyak kesan yang kita peroleh.

Di dalam gedung bioskop, kita menonton gam­bar sorot dalam variasi terang, gelap, kontras. lembut, serta berbagai kombinasi warna. Sua­sana remang dan ditunjang tata suara, maka selu­ruh perhatian tertuju ke bidang (scope) layar mengamati obyek visual yang menunjukkan gerak. Bioskop itu memukau, bahkan bisa men­jadi “diktator”, karena enggan meninggalkan tempat duduk – meski untuk ke kamar kecil – sampai saat istirahat ataupun bu­bar.

Emosi mudah terhanyut karena persepsi visual dan audio. Konsentrasi indrawi yang mengikuti visualisasi gerak, warna, nuansa disertai mendengar setiap dialog, narasi, musik maupun sound effect, maka komplitlah stimuli yang merangsang emosi penonton. Bisa ikut marah, gembira, gêtêm, dan lain-lain reaksi.

Bagaimana dengan layar kaca? Layar kaca tidak meman­tul­­kan cahaya, tetapi menge­luarkan ber­kas cahaya. Suara secu­kup­nya, asal ter­dengar jelas bagi pen­dengar di ruang­­an itu saja. Bukan untuk tetang­ga.


Pola Teknik – Ilustrasi di samping ini adalah pola tes resolusi pada monitor ataupun televisi. Ada persamaan konsep dengan yang dipancarkan oleh TVRI. Pada pola teknik TVRI, disertakan juga contoh warna tayang. Terutama merah (R), hijau (G) dan biru (B). Semakin baik penerimaan, garis-garis horisontal, vertikal maupun diagonal semakin nyata.
Pola Warna – Contoh pola warna (calour bars). Aslinya gambar warna. Bagian atas dari kiri ke kanan: abu-abu, kuning, biru cyan, hijau, magenta, merah dan biru. Bagian bawah dari kiri ke kanan: biru putih biru dan hitam. Pola warna yang dipancarkan oleh stasiun penyiaran tidak persis sama, tetapi mempunyaikonsep serupa.
 
Bila menang­kap siaran TVRI, pada bagian sebelum acara dimulai, biasanya diawali dengan pola teknik. Pola teknik adalah tampilan yang menunjukkan garis-garis horisontal, vertikal, diagonal, lingkaran, tingkat kekontrasan, tingkat gelap atau hitam serta putih, dan spektrum war­­­na RGB (Red, Green, Blue) beserta kombi­nasinya. Penyetelan warna akan lebih mudah bila muncul pola warna (colour bars). Perhatikan ilustrasi di bawah. Baik pola teknik maupun pola warna bisa dijadikan pedoman.

Di Jakarta terdapat begitu banyak usaha-usaha kecil yang menyelenggarakan penyewaan PS (Play Station). Beberapa televisi (rata-rata) layar CRT (Cathode Ray Tube) berjajar ditaruh di bangku yang realtif rendah. Semantara, anak-anak yang bermain duduk bersila, sêdhéprok berjam-jam di depan layar monitor yang posisinya lebih tinggi dari titik pandang horisontal. Suatu cara pandangn yang tidak sehat.

Tidak ada komentar: