Pada Persepsi Visual bagian 1, saya mengambil contoh ceritera tentang becak, yang diucapkan secara lisan atau verbal. Relatif, setiap hari kita berbicara pada orang lain dengan ungkapan-ungkapan verbal. Ungkapan yang verbal, terucapkan sebagai simbol bunyi yang sifatnya terdengar atau audible dan tertangkap dengan indra pendengar. Orang yang tuna wicara juga “berbicara” pada orang lain; bukan verbal melainkan dengan bahasa isyarat ragawi atau gesture, atau simbol-simbol yang dimengerti pihak yang diajak berkomunikasi. Misalnya dengan tulisan. (Jika ada waktu, saya ingin berbagi pula tentang aksara sebagai simbol bunyi, desain aksara, tipografi dan beberapa pengalaman terkait. Dongakna ya, inyong tansah pinaringan waras. Mèn bisa berbagi dongèng.) Kembali tentang si tuna wicara. Tidak mustahil, dalam benak yang bersangkutan (si tuna wicara itu) sudah tersusun informasi yang tertata. Namun keluarnya dalam “ucapan” hanya hah, hih. huh yang tidak difahami lawan bicaranya. Ada perbedaan referensi, sehingga sering tidak nyambung secara utuh.
Meskipun suatu pesan verbal, dalam hal ini bila kita melakukan pembicaraan dengan seseorang, maka akan terdengar keras dan lembutnya suara, jelas atau nggranyêm, tekanan pada kata tertentu ataukah datar. Terlihat juga siapa yang berbicara, dan roman mukanya. Berarti ada gabungan verbal dan visual. Intinya, ada simbol-simbol yang memberi watak dalam proses komunikasi.
Dewasa ini semakin banyak para pengajar dan pelatih yang menggunakan sarana bantu audio maupun visual untuk mendukung proses belajar mengajar. Dalam pelajaran bahasa, dimana pemahaman menyangkut mendengar, mengucapkan, membaca dan menulis, membutuhkan ukuran baku sesuai bidang pelajarannya.
Secara umum – bila mata kita sehat, tidak buta warna dan tidak menderita rabun dekat maupun rabun jauh – mempunyai kemungkinan melihat suatu obyek dalam jarak pandang terbatas. Baru kemungkinan, karena perlu syarat yang mutlak harus ada, yakni cahaya. Cahaya disini diartikan tidak cuma karena tersorot sinar, tetapi mendapat suasana padhang alias luminance. Cahaya menerangi sesuatu benda ataupun keadaan, dan pantulannya akan tertangkap pandangan mata lewat lensa dan jatuh pada retina yang tersambung pada syaraf penglihat. Lensa mata yang elastis mengatur jatuhnya titik pandang pada retina, dan difragma atau rana akan mengatur intensitas cahaya yang masuk.
Kita tentu sudah sangat faham, bahwa sesuatu obyek terlihat tergantung dua hal.
Pertama, obyek terkena cahaya. Sebagian cahaya terserap, sebagian lagi terpantul dan tertangkap penglihatan mata baik intensitas maupun spektrum warnanya. Secara sederhana, kita tidak akan melihat sesuatu benda, kalau tidak ada cahaya yang mengenai benda tersebut dan memantul ke mata kita. Obyek semakin kabur dari penglihatan, selain karena terbatasnya kemampuan mata menangkap pantulan dari obyeknya, juga karena tingkat intensitas cahaya yang terpantul dari benda tersebut.
Kedua, semakin jauh akan terlihat semakin kecil, karena bidang pandang mempunyai sudut lebar tertentu. Rata-rata efektif tanpa distorsi, berada dalam sudut pandang adalah 46°. Semakin jauh sesuatu obyek, maka semakin kecil dibandingkan ruang pada sudut pandang 46°, sehingga terlihat semakin kecil. Dimensi yang sebenarnya dengan yang terlihat menjadi berbeda karena jarak pandang; semakin jauh, sesuatu menjadi terlihat semakin kecil. Kelembutan atau detail-nya pun semakin kabur. Makanya gunung terlihat elok dari jauh, purnama sidhi begitu mengagumkan!
Sebuah publikasi pendidikan (American School Board Journal, Darby W.G.) menyebutkan bahwa gambar dan atau huruf di papan tulis, akan terlihat sebesar 1/20 dari ukuran semestinya, bila dilihat dari bagian belakang kelas atau dari jarak sekitar 8 m. Rupanya tidak keliru, saat pertama kali mau masuk sekolah tahun 1950, kakak saya menyuruh saya untuk duduk di bangku deretan depan bagian tengah. Kiranya punya tiga pertimbangan; (1) lebih fokus menyimak, (2) jarak pandang ke papan tulis, dan tentu saja (3) karena postur tubuh saya rada imut-imut.
Terang benderang dan pantulan yang kuat menjadikan mata kita nyurêng menyesuaikan. Papan tulis berwarna hitam dan atau hijau gelap dengan permukaan rata tetapi tidak mengkilat sangat membantu mencapai tingkat kontras tulisan, perhatian bisa lebih fokus, dan tidak silau. Beda sekali dengan bila menggunakan white board yang glossy yang cenderung melelahkan mata. Cat tembok putih mêmplak (bright white) memang lebih membawa suasana terang karena intensitas pantulan cahaya lebih banyak, sehingga banyak orang menggunakan cat tembok yang lebih lembut. Tidak mengherankan bila para perancang penerbitan cenderung memilih kertas yang tidak putih mêmplak; juga bukan kertas berlapis yang mengkilat (coated). Terutama untuk buku teks dan penerbitan untuk konsumsi anak-anak.
Biarkan lampu ruangan menyala pada posisi dimana kita menonton acara tayangan pada layar kaca. Penonton televisi seyogyanya berada pada posisi 5 kali ukuran diagonal layar. Jadi, jika layar kaca berukuran 21 inchi, maka 21 x 5 = 53.5 inci = 266.7 cm. Dimudahkan, 2,5 meter. Usahakan letak televisi pada ketinggian yang sejajar dengan titik pandang.
Kita termasuk memiliki indra penglihatan dan pendengaran yang lengkap, maka kita dapat menangkap simbol atau tanda-tanda yang terlihat maupun yang terdengar. Sementara itu, dalam pengertian yang lebih luas, selain kita mendengar penyampaian informasi lisan, kita juga mendengar informasi yang sifatnya terdengar tetapi bukan melalui pembicaraan. Informasi yang terdengar misalnya: bunyi suara adzan, siaran radio, siaran televisi, pertunjukan bioskop, bunyi klakson mobil dan seterusnya. Terdengar dan mengandung suatu pesan yang dapat dimengerti oleh orang lain.
Jika kita menonton bioskop, tayangan televisi, pertunjukan wayang; berarti kita menangkap pesan yang visual karena terlihat sekaligus pesan audio karena terdengar. Dengan kata lain, kita dékrubut dari dua saluran yaitu indra penglihat dan indra pendengar. Diharapkan semakin banyak kesan yang kita peroleh.
Di dalam gedung bioskop, kita menonton gambar sorot dalam variasi terang, gelap, kontras. lembut, serta berbagai kombinasi warna. Suasana remang dan ditunjang tata suara, maka seluruh perhatian tertuju ke bidang (scope) layar mengamati obyek visual yang menunjukkan gerak. Bioskop itu memukau, bahkan bisa menjadi “diktator”, karena enggan meninggalkan tempat duduk – meski untuk ke kamar kecil – sampai saat istirahat ataupun bubar.
Emosi mudah terhanyut karena persepsi visual dan audio. Konsentrasi indrawi yang mengikuti visualisasi gerak, warna, nuansa disertai mendengar setiap dialog, narasi, musik maupun sound effect, maka komplitlah stimuli yang merangsang emosi penonton. Bisa ikut marah, gembira, gêtêm, dan lain-lain reaksi.
Bagaimana dengan layar kaca? Layar kaca tidak memantulkan cahaya, tetapi mengeluarkan berkas cahaya. Suara secukupnya, asal terdengar jelas bagi pendengar di ruangan itu saja. Bukan untuk tetangga.
Pola Teknik – Ilustrasi di samping ini adalah pola tes resolusi pada monitor ataupun televisi. Ada persamaan konsep dengan yang dipancarkan oleh TVRI. Pada pola teknik TVRI, disertakan juga contoh warna tayang. Terutama merah (R), hijau (G) dan biru (B). Semakin baik penerimaan, garis-garis horisontal, vertikal maupun diagonal semakin nyata.
Pola Warna – Contoh pola warna (calour bars). Aslinya gambar warna. Bagian atas dari kiri ke kanan: abu-abu, kuning, biru cyan, hijau, magenta, merah dan biru. Bagian bawah dari kiri ke kanan: biru putih biru dan hitam. Pola warna yang dipancarkan oleh stasiun penyiaran tidak persis sama, tetapi mempunyaikonsep serupa.
Bila menangkap siaran TVRI, pada bagian sebelum acara dimulai, biasanya diawali dengan pola teknik. Pola teknik adalah tampilan yang menunjukkan garis-garis horisontal, vertikal, diagonal, lingkaran, tingkat kekontrasan, tingkat gelap atau hitam serta putih, dan spektrum warna RGB (Red, Green, Blue) beserta kombinasinya. Penyetelan warna akan lebih mudah bila muncul pola warna (colour bars). Perhatikan ilustrasi di bawah. Baik pola teknik maupun pola warna bisa dijadikan pedoman.
Di Jakarta terdapat begitu banyak usaha-usaha kecil yang menyelenggarakan penyewaan PS (Play Station). Beberapa televisi (rata-rata) layar CRT (Cathode Ray Tube) berjajar ditaruh di bangku yang realtif rendah. Semantara, anak-anak yang bermain duduk bersila, sêdhéprok berjam-jam di depan layar monitor yang posisinya lebih tinggi dari titik pandang horisontal. Suatu cara pandangn yang tidak sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar