Selasa, 12 Januari 2010

BRUDERAN (3) - Bruder Jos

“Beneath the little west window, lay a child about ten years old ..... “ Itulah kalimat yang mengawali paragraf pertama Chapter I buku A Child with out a Name yang harus dihafalkan. Buku fiksi ukuran saku, yang dibagi-pinjamkan oleh Bruder Jos. Saya tidak ingat nama pengarang dan penerbitnya. Beliau menjelaskan dengan rinci latar belakang kultur dan suasana deskripsi ceritera, termasuk etimologi istilah yang ada. Dengan gaya teater yang menguasai blocking panggung, dicontohkan membaca halaman pertama itu dengan intonasi British-nya. Semua menyimak “aktor” yang memang ganteng juga sih ...

Ujung-ujungnya, jadi PR. Semua murid, satu persatu harus maju ke depan kelas, mengucapkan isi halaman pertama buku itu dengan benar. Jika seseorang menghafal dengan benar maka dia “dilantik jadi King ... “. Ternyata masih banyak yang cuma jadi punggawa ... Selain sebagai Kepala Sekolah, beliau mengajar bahasa Inggris bidang Comprehension. Bidang grammar pengajarnya Miss Tjoa.

Menurut hemat saya, kenapa kosa kata lebih mudah difahami, karena penjelasan atas kata dan akar kata. Window, ingat saja wind itu angin, ow memberi pengertian lubang. Jadi lubang angin alias jendela. Under world, karena pada jamannya, peti jenazah, bisa dari batu (sarcophagus, sarkofak) diletakkan di ruang bawah tanah (seperti gua). Maka sebutan under world menjadi tempat bagi : the departed spirits of the dead alias akhirat. Churchyard, church adalah gereja, yard itu pekarangan. Karena makam pada jamannya memang berada di pekarangan dekat gereja. Jadilah church yard itu tanah pemakaman. Kata cemetery adalah American-English. Pantesan, saya lihat di Notre-Dame de Paris, gereja yang dipersembahkan bagi Bunda Maria di Perancis, beberapa makam orang tertentu berada di dalam gereja itu. Gambar slide yang saya ambil sendiri beberapa tahun yang silam sudah rusak kena lembab, jadi saya nyomot dari world-city-photos.org

Romeo and Juliet
Film Romeo dan Juliet tengah diputar di bioskop Elita Purwokerto. Saya tidak tahu pa masih ada? Jika masih apa namanya masih sama. Lokasinya di sebelah timur Stasiun Timur, berseberangan dengan Kantor Pos. Kami (murid-murid sekelas) diajak menonton, pertunjukan siang. Bruder non film? Apa nggak boleh? Lagi pula ini Romeo Juliet atas dasar karya Wiliiam Shakespeare, pujangga Inggris yang amat beken. Penglihatan saya sudah kurang sempurna, tapi belum bisa (di) belikan kacamata. Jadi teks terlihat agak kabur kalau melihat dari kelas 1. Kelas 1 di bagian belakang, kelas 2 di tengah, kelas 3 alias kelas embèk (paling murah) di depan yang terlalu terang dan agak menengadah. Belum ada istilah VIP.

Bruder mengetahui kekurangan saya, mengatakan: Perhatikan gambarnya, dengarkan bicaranya. Itu yang penting! Bertahun-tahun kemudian, setelah belajar komunikasi, ternyata ada benarnya. Selaras dengan kekuatan audio-visual, film punya sifat “memaksa”. Ruang yang gelap mendorong penonton untuk fokus, dan larut mengikuti jalan ceritera. Cilakanya, begitu bubar, di luar hujan. Saya berteduh menunggu hujan reda. Eh, bruder Jos terus saja ngoyos menerobos hujan, jalan kaki pulang ke asramanya! Tidak ada kamusnya: naik becak. Lha, kami (sebagian murid-muridnya) ikut juga. Malu rasanya enak-enak berteduh. “Oh, Romeo, Romeo where art thou!”

Perpustakaan
Ada salah satu ruangan di bangunan SMP Bruderan (di bagian depan) yang dipakai untuk perpustakaan. Tersimpan buku-buku dan piringan hitam pelajaran bahasa Inggris. Masa itu, belum ada tape (baik yang rol maupun bentuk kaset, apalagi cakram). Entah mengapa Bruder menunjuk saya untuk ikut “ngurusi” koleksi buku di perpustakaan. Ya cuma saya. Menata, mendaftar, membuat catatan peminjaman, termasuk selebaran pengumuman yang dipasang pada papan pengumuman. Cukup banyak buku di dalamnya. Mau tidak mau laah ... banyak membaca judul buku. Judulnya aja!

Semula saya berfikir, bruder itu ya ngajar, urusan gereja, kebaktian dan sejenisnya. Ternyata saya keliru, saat bersama kerja bakti merapikan lokasi yang dikenal dengan Taman Widjajakusuma, sebelah barat Kodim (sebelah selatan jalan Raya sebelum jembatan menuju stasiun KA). Dekat simpang tiga Jalan Bank. Kini saya tidak tahu persis, apakah lokasinya masih ada. Beliau tidak sungkan mengangkat cikrak, berisi tanah dan bebatuan. Kalau sudah begitu, siapa yang berani mau ber-léha-léha?

Dengan blog Sêkalané Kémutan saya coba mengenang beberapa sekuen tatkala menjadi murid SMA Bruderan Purwokerto. Kejadiannya sudah lama (tentu saja). Namun banyak bagian yang tetap segar dalam ingatan. Jika saya menulis tentang tentang Bruder Aëtius dan Bruder Jos, karena ada hal-hal yang sangat khas. Beliau adalah rohaniwan yang juga punya tugas pendidikan. Memberi gambaran bahwa menjalankan amanah itu seolah tiada batas. Terimakasih yang tulus saya juga sampaikan kepada semua staf pengajar. Mugi tansah winêngku ing karahayon.
 
Saya tidak mempunyai gambarnya. Satu-satunya “relikwi” hanyalah tanda tangan beliau yang melingkar bagaikan ngubêngi jagad di buku rapor saya. Jangankan gambar Bruder dan Pengajar lain. Lha wong gambar sekolahannya saja tidak punya. Masa itu sudah lama. Nyaris setengah abad yang lampau. Yang ada cuma kenangan, atas dasar memori yang tersisa. Bagaimanapun, mengenal beliau tidak hanya mengenal sebagai pengajar, sebagai guru. Tetapi langsung atau tidak, banyak inspirasi, keteladan dan pelajaran berharga yang terserap. Matur nuwun. Requiescat in Pace. Mugi nugrahaning Gusti Ingkang Maha Asih tansah lumubèr, kinanthèn palênggahan ingkang ayom lan ayêm. Amin. - Tu Ds.

Tidak ada komentar: